Pemanfaatan AI dalam proses desain kini semakin lazim, mulai dari ideasi, eksplorasi visual, hingga produksi konten. Namun, seiring meningkatnya peran mesin dalam kerja kreatif, muncul pertanyaan mendasar yang tak bisa dihindari: sejauh mana kontribusi AI perlu diungkapkan, bagaimana keputusan dibuat, dan siapa yang bertanggung jawab atas hasil akhirnya?
Transparansi menjadi kunci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bukan sekadar demi kepatuhan, tetapi sebagai fondasi kepercayaan, baik di dalam tim desain maupun di hadapan publik. Ketika proses kolaborasi manusia dan AI dapat ditelusuri dengan jelas, integritas profesional terjaga, dan keputusan kreatif memiliki konteks yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks desain, transparansi memiliki fungsi tambahan: menjaga keberlanjutan kreativitas. Ketika proses kolaborasi tidak dapat ditelusuri, keputusan kreatif kehilangan konteks, dan tim kesulitan memahami bagaimana suatu arah visual ditetapkan. Dalam salah satu panduan konseptual, disebutkan bahwa “prompt and version logs enhance clarity and decision traceability without slowing momentum”, menegaskan bahwa dokumentasi tidak harus menjadi beban, tetapi dapat dirancang sebagai praktik kerja yang efisien dan terintegrasi.
Ada beberapa dimensi transparansi yang penting dalam kolaborasi manusia–AI:
1. Transparansi kontribusi (contribution disclosure).
Menjelaskan bagian mana yang dihasilkan oleh AI dan mana yang ditentukan manusia membantu menjaga akuntabilitas. Praktik ini juga penting dalam publikasi, produksi visual publik, dan pendidikan.
2. Transparansi sumber data dan lisensi.
Pemahaman mengenai dataset yang digunakan model AI menjadi bagian dari etika profesional. Tanpa ini, organisasi berisiko menampilkan visual yang bias, tidak akurat, atau secara hukum bermasalah.
3. Transparansi proses pengambilan keputusan.
Dokumentasi iterasi, baik melalui snapshot visual, catatan kurasi, maupun parameter teknis, membantu menjelaskan mengapa satu arah desain dipilih dan yang lain tidak. Ini relevan untuk evaluasi internal maupun diskusi dengan pemangku kepentingan.
4. Transparansi batasan dan kemampuan AI.
Menjelaskan bahwa AI bukan sumber kreativitas otonom, tetapi sistem yang bekerja berdasarkan pola data, membantu menjaga ekspektasi publik dan mencegah misinterpretasi.
5. Transparansi etis.
Pada proyek yang berkaitan dengan identitas visual, representasi masyarakat, atau narasi sensitif, transparansi menjadi bagian dari tanggung jawab moral organisasi.
Transparansi berdampak langsung pada kepercayaan. Dalam konteks organisasi, kejelasan proses mempermudah kolaborasi lintas divisi dan meminimalkan kesalahpahaman. Dalam konteks publik, transparansi menciptakan rasa jujur dan menghargai audiens. Pada akhirnya, teknologi hanya memperkuat nilai-nilai desain ketika digunakan dengan kesadaran penuh terhadap konteks, dampak, dan akuntabilitasnya.
Daftar Referensi
- Desdevises, J. et al. (2025). The Paradox of Creativity in Generative AI. Frontiers in Psychology.
- Doshi, A. R. et al. (2024). Generative AI Enhances Individual Creativity but Reduces…. Science Advances.
- Kadenhe, N. et al. (2025). Human-AI Co-Design and Co-Creation: Emerging Approaches and Future Directions. AAAI Spring Symposium.
- Kartika, R. (2025). AI as a Co-Designer in Visual Communication Design. BINUS University.
- Rezwana, J. et al. (2025). Human-Centered AI Communication in Co-Creativity (FAICO). ACM Digital Library.
Catatan: Visual dan naskah dikembangkan dengan bantuan AI berbasis whitepaper penulis.