Di banyak kelas desain hari ini, mahasiswa bisa menghasilkan puluhan visual hanya dalam satu sesi. Ide mengalir cepat, variasi melimpah, tetapi di saat yang sama muncul kegelisahan baru: apakah mereka masih benar-benar memahami proses berpikir di balik desain, atau hanya mahir memainkan prompt? Inilah tantangan baru pendidikan desain di era AI.

Kehadiran AI sesungguhnya bukan ancaman bagi pembelajaran studio. Ia justru bisa menjadi katalis untuk memperkaya diskusi visual dan memperluas ruang eksperimen. Namun manfaat itu hanya akan terasa jika mahasiswa tidak berhenti pada hasil akhir, melainkan diajak untuk memahami proses, alasan, dan pertimbangan di balik setiap keputusan visual yang mereka ambil.

Dalam dokumen konseptual tentang co-design, disampaikan bahwa struktur pembelajaran sebaiknya menekankan proses dialogis antara mahasiswa, AI, dan pengajar. Pernyataan “grading process and judgement, not only outcomes” menegaskan pentingnya penilaian yang menilai refleksi, kurasi, dan argumentasi kreatif, bukan hanya visual akhir.

Untuk memperkuat kemampuan bernalar visual, beberapa pendekatan dapat diintegrasikan dalam kurikulum:

1. Mengajarkan eksplorasi terarah, bukan prompt trial-and-error.
FAICO Framework (Rezwana et al., 2025) menunjukkan bahwa komunikasi efektif dengan AI membutuhkan kejelasan niat dan struktur iteratif. Mahasiswa perlu memahami bagaimana merumuskan batasan visual, mengarahkan eksplorasi, dan menilai relevansi setiap keluaran.

2. Mengembangkan literasi visual dan etika penggunaan AI.
Pendidikan desain tidak hanya membahas estetika, tetapi juga keberlanjutan, representasi, dan keadilan visual. Mahasiswa perlu dilatih untuk mengidentifikasi potensi bias AI dan memahami tanggung jawab etis dalam menggunakan aset generatif.

3. Mengintegrasikan kurasi sebagai kompetensi inti.
Keterampilan memilih, membandingkan, dan mengarahkan ide menjadi semakin penting. Studi McGuire et al. (2024) menunjukkan bahwa peran manusia sebagai kurator berdampak signifikan pada kualitas kreativitas kolektif.

4. Dokumentasi proses sebagai bagian dari penilaian.
Pencatatan versi, alasan pemilihan, dan evaluasi iterasi memberi mahasiswa pemahaman yang lebih baik tentang perjalanan ide. Pendekatan ini memperkuat akuntabilitas dan kemampuan menjelaskan keputusan desain secara profesional.

Transformasi ini menggeser pendidikan desain dari sekadar produksi visual menuju ruang belajar yang menekankan pemikiran kritis, refleksi, dan sensitivitas visual. Dengan menempatkan AI sebagai alat yang memperkuat penalaran, bukan menggantikannya, institusi pendidikan dapat memastikan bahwa lulusan desain tetap memiliki kapasitas berpikir yang mendalam dan relevan dengan tuntutan industri masa depan.

Daftar Referensi

  • Desdevises, J. et al. (2025). The Paradox of Creativity in Generative AI. Frontiers in Psychology.
  • Hwang, Y. (2025). Graphic Design Education in the Era of Text-to-Image. International Journal of Art & Design Education (JADE).
  • Kartika, R. (2025). AI as a Co-Designer in Visual Communication Design. BINUS University.
  • McGuire, J. et al. (2024). Co-creation and Self-Efficacy in Creative Collaboration with Artificial Intelligence. Scientific Reports.
  • Rezwana, J. et al. (2025). Human-Centered AI Communication in Co-Creativity (FAICO). ACM Digital Library.

Catatan:
Visual dan naskah dikembangkan dengan bantuan AI berbasis whitepaper penulis.