Kemampuan AI menghasilkan visual dalam hitungan detik telah mengubah cara banyak desainer bereksplorasi. Ilustrasi, tipografi, hingga komposisi visual kini bisa muncul begitu cepat. Namun, di balik kemudahan itu muncul satu pertanyaan penting: bagaimana menjaga agar setiap karya tetap memiliki keaslian, karakter, dan arah estetika yang tidak sekadar mengikuti pola mesin?

Salah satu risiko yang mulai terasa adalah kecenderungan visual menjadi seragam. Ketika AI terus mengulang pola yang dianggap “aman” dan familiar, identitas sebuah karya perlahan bisa kehilangan keunikan. Jika tidak disadari, kondisi ini bukan hanya mengurangi nilai inovasi, tetapi juga dapat mengaburkan karakter visual sebuah brand, institusi, atau bahkan praktik desain itu sendiri.

Pendekatan desain yang menempatkan AI sebagai mitra, bukan pusat keputusan, menjadi langkah penting untuk mencegah homogenitas visual. Interaksi yang diarahkan secara kritis, melalui briefing yang jelas, batasan gaya, serta preferensi estetika yang dikurasi, membantu menjaga ruang kreativitas tetap terbuka dan terkendali. Dalam salah satu panduan konseptual tentang co-design disebutkan bahwa “creativity gains vanish when humans fall into the role of post-hoc editors,” menegaskan pentingnya kendali manusia dalam mengarahkan keputusan visual agar tetap otentik dan kontekstual .

Untuk menjaga keaslian karya, desainer perlu menerapkan beberapa prinsip kunci. Pertama, memperluas eksplorasi melalui branching, membangun beberapa alternatif ide sebelum memilih arah utama. Studi oleh Kumar et al. (2025) menunjukkan bahwa diversifikasi cabang ide meningkatkan kebaruan karya sekaligus mengurangi ketergantungan pada pola dominan AI.

Kedua, mempertahankan kurasi sebagai kompetensi inti. Manusia memiliki sensitivitas budaya, empati visual, dan pengetahuan konteks yang tidak dimiliki AI. McGuire et al. (2024) menekankan bahwa kurasi manusia, melalui penilaian terhadap relevansi, kedalaman makna, dan kelayakan visual, berperan besar dalam mempertahankan kualitas dan integritas karya.

Ketiga, memberikan ruang bagi argumentasi visual melalui dokumentasi. Pencatatan alasan kreatif, versi, dan keputusan desain membuat proses tetap transparan serta membantu tim memahami bagaimana sebuah karya berkembang. Pendekatan ini selaras dengan pandangan bahwa traceability bukan sekadar administrasi, tetapi bentuk tanggung jawab kreatif yang memastikan desain tetap terarah dan autentik.

Akhirnya, menjaga keaslian di era visual generatif bukan tentang menolak teknologi, tetapi memanfaatkannya secara sadar. AI dapat memperkaya eksplorasi, tetapi manusia tetap memegang peran sebagai penjaga makna, konteks, dan kualitas estetika. Dengan menggabungkan kecerdasan manusia dan kemampuan generatif AI secara strategis, dunia desain dapat terus berkembang tanpa kehilangan keunikan yang menjadi inti dari praktik kreatif.

Daftar Referensi

  • Desdevises, J. et al. (2025). The Paradox of Creativity in Generative AI. Frontiers in Psychology.
  • Kadenhe, N. et al. (2025). Human-AI Co-Design and Co-Creation: Emerging Approaches and Challenges. AAAI.
  • Kartika, R. (2025). AI as a Co-Designer in Visual Communication Design. BINUS University.
  • Kumar, A. et al. (2025). Tracking the Evolution of Design Ideas in Human-AI Co-Ideation. ACM.
  • McGuire, J. et al. (2024). Co-creation and Self-Efficacy in Creative Collaboration with Artificial Intelligence. Scientific Reports.

Catatan:
Visual dan naskah dikembangkan dengan bantuan AI berbasis whitepaper penulis.