(Bagian ketiga dalam seri desain pembelajaran inklusif. Tapi kamu bisa langsung masuk ke artikel ini tanpa baca dua bagian sebelumnya.)

Action & Expression: Pilar yang Sering Dilupakan

Di banyak kelas, kita sering bertanya: “Apakah mahasiswa sudah paham?” Tapi pertanyaan yang lebih penting sebenarnya adalah: “Apakah kita memberi cukup ruang bagi mereka untuk mengekspresikan pemahaman itu, dengan cara yang bermakna bagi mereka?”

Prinsip Action & Expression dalam Universal Design for Learning (UDL) menggarisbawahi pentingnya menyediakan beragam cara bagi mahasiswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari. Di versi 3.0, ada tiga area utama:

  • Interaction – memastikan mahasiswa dapat mengakses dan menggunakan tools untuk belajar.
  • Expression & Communication – memberi pilihan dalam menyampaikan ide, pendapat, atau hasil kerja.
  • Executive Function – membimbing mahasiswa mengembangkan strategi belajar, pengaturan waktu, dan refleksi.

 

Real Case: “Digital Storytelling” di California State University

Dalam mata kuliah ini, mahasiswa bisa memilih format final project: esai analitik, vlog, podcast, bahkan infografis interaktif. Yang dinilai bukan bentuknya, tapi ketajaman analisis dan keberhasilan menyampaikan pesan.

Profesor Louie F. Rodriguez menggunakan rubrik kriteria terbuka, di mana parameter kualitas tidak dikaitkan dengan format tertentu. Mahasiswa diberikan scaffold seperti checklist mingguan, peer review terbuka, dan refleksi akhir tentang proses belajar.

Hasilnya: Mahasiswa menunjukkan keterlibatan emosional lebih tinggi, dan tugas akhir jadi jauh lebih beragam—namun tetap setara dalam kedalaman isi.

 

Implementasi Praktis di Kampus

Strategi Contoh Praktik AI / Teknologi Pendukung
Variasi format tugas Mahasiswa memilih sendiri: essay, presentasi, blog, video, poster digital, dsb. Gunakan Notion template, LMS form builder, atau prompt generator untuk scaffold tiap format.
Executive function scaffolding Checklist, time tracker, milestone planner untuk tiap tugas besar. Trello + AI Copilot, Notion AI Timeline, atau ChatGPT untuk weekly learning coach.
Text-to-speech / speech-to-text tools Mahasiswa disabilitas dapat mengekspresikan ide lewat suara atau visual. Whisper AI, Otter.ai, Google Docs Voice Typing.
Rubrik fleksibel berbasis kompetensi Rubrik menilai analisis, argumentasi, kreativitas, bukan format. Rubric.ai atau add-on AI di LMS seperti Canvas atau Moodle.
Peer-supported expression Mahasiswa diminta memberi umpan balik satu sama lain sebelum submit. Peergrade, Kaizena, atau AI co-reviewer via Google Docs plugin.

 

Tantangan dan Strategi Menghadapinya

Tantangan Kenapa Terjadi Strategi Praktis
Dosen merasa nilai jadi ‘nggak adil’ jika format tugas beda-beda Karena terbiasa nilai dari output seragam Kembangkan rubrik berbasis kompetensi, bukan format produk. Fokus pada “evidence of learning”.
Mahasiswa bingung dengan terlalu banyak opsi Kurang pembimbingan saat memilih format Sediakan format selector + pertanyaan reflektif. Bisa pakai AI untuk memberi rekomendasi berbasis preferensi.
Teknologi tidak selalu tersedia Tidak semua mahasiswa punya akses tools multimedia Sediakan opsi low-tech: tulisan tangan, audio rekaman sederhana, atau peta pikiran kertas.
Dosen kesulitan mengelola tugas lintas format Tantangan di manajemen penilaian Gunakan sistem template + submission tracker, serta batch review berdasarkan rubrik, bukan tipe media.

 

Peran AI: Membantu, Bukan Menentukan

AI punya peran besar di Action & Expression, tapi perlu dikontrol agar bukan jadi ‘pengganti berpikir’. Beberapa peran AI yang powerful jika dipakai dengan desain UDL:

  • Assistant untuk strategi belajar
    ChatGPT sebagai co-pilot untuk perencanaan belajar, reminder, dan ide pengembangan proyek.
  • Format converter
    Tugas bisa dikonversi dari teks ke video, teks ke infografis, atau bahkan jadi script podcast (via Lumen5, Descript, dll.).
  • Umpan balik otomatis
    AI bisa memberi review awal terhadap draft mahasiswa sebelum dosen turun tangan—mempercepat proses iteratif.
  • Prompt personalization
    AI bisa bantu merancang pertanyaan reflektif berbeda untuk tiap mahasiswa berdasarkan proses belajarnya.

Tapi ingat: ekspresi belajar yang otentik bukan dihasilkan AI. Ia diciptakan dari konteks, pilihan, dan pembimbingan yang manusiawi.

 

Ringkasan

Action & Expression bukan hanya tentang “boleh bikin video atau nulis esai”—tapi tentang membangun ruang agar mahasiswa merasa mampu, percaya diri, dan strategis dalam menyampaikan pemahamannya. Ini adalah ranah di mana kesetaraan benar-benar diuji: apakah kita hanya menilai “produk akhir,” atau memberi ruang bagi proses belajar yang reflektif dan fleksibel? Dengan bantuan AI yang tepat, kita bisa membangun pengalaman belajar yang mendukung semua mahasiswa—baik mereka yang verbal, visual, kinestetik, neurodiverse, atau bahkan mereka yang masih belum yakin siapa diri mereka sebagai pembelajar.

 

Penutup

Dengan ini, lengkap sudah eksplorasi kita terhadap tiga pilar UDL: Engagement, Representation, dan Action & Expression. Tapi jangan salah, ini bukan akhir—hanya permulaan untuk merancang pembelajaran yang lebih inklusif, lebih cerdas, dan lebih manusiawi.

Kalau kamu tertarik mendalami lebih lanjut, langsung saja eksplorasi UDL Guidelines 3.0 — lengkap dengan ilustrasi, strategi praktis, dan banyak inspirasi desain.