Dalam era percepatan adopsi teknologi Artificial Intelligence (AI), literasi AI menjadi aspek krusial yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin bisnis. Literasi ini tidak hanya soal pemahaman teknis, melainkan juga menyangkut bagaimana AI dapat digunakan secara strategis, etis, dan berdampak bagi organisasi dan masyarakat. Banyak organisasi saat ini telah mengimplementasikan AI, namun masih banyak yang belum memiliki pemahaman menyeluruh mengenai potensi, risiko, dan cara optimal untuk memanfaatkannya. Inilah mengapa literasi AI harus ditanamkan sebagai bagian integral dari strategi transformasi digital perusahaan. 

Salah satu tantangan terbesar dalam membangun literasi AI adalah meyakinkan para pemangku kepentingan mengenai nilai dari kegiatan pembelajaran ini. Untuk itu, pendekatan yang menekankan proposisi “belajar untuk menghasilkan” menjadi penting. Organisasi perlu menunjukkan bagaimana pemahaman tentang AI dapat meningkatkan diferensiasi strategis, menciptakan nilai bisnis, dan mendorong adopsi AI yang lebih luas dan bertanggung jawab di seluruh unit kerja. Literasi AI bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga pendorong perubahan budaya, pengambilan keputusan berbasis data, dan peningkatan efisiensi organisasi. 

Namun, kebutuhan akan literasi AI tidak bersifat seragam di seluruh organisasi. Peran yang berbeda menuntut tingkat kedalaman pemahaman yang berbeda pula. Untuk itu, penting bagi organisasi melakukan pemetaan awal atas kompetensi dan kesenjangan keterampilan yang ada. Pemahaman ini mencakup empat area utama: pengetahuan dasar tentang konsep dan teknik AI; wawasan strategis terkait manfaat, risiko, dan kasus penggunaan; kemampuan teknis dalam pengembangan dan penerapan sistem AI; serta pemahaman tata kelola, kebijakan, dan prinsip etika yang membingkai penggunaan teknologi tersebut. Dengan pemetaan ini, pelatihan dapat dirancang secara lebih kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masing-masing individu dan tim.  Beberapa individu mungkin perlu memahami dasar-dasar AI dan aplikasinya dalam dunia industri, sementara yang lain perlu memperdalam keahlian dalam rekayasa AI, tata kelola data, atau etika penggunaan AI dalam konteks riset dan pendidikan.  

Selain kontennya, pendekatan pembelajaran juga harus disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja yang dinamis. Pembelajaran yang bersifat agile dan berorientasi pada hasil lebih efektif dalam meningkatkan kapabilitas literasi AI. Ini dapat diwujudkan melalui kombinasi pendekatan formal, seperti modul pelatihan singkat dan video interaktif; pembelajaran sosial lewat komunitas praktik dan pusat keunggulan; serta pembelajaran berbasis pengalaman di tempat kerja, di mana peserta dapat langsung mengaplikasikan keterampilan yang diperoleh dalam proyek nyata. Pola belajar yang berkelanjutan seperti ini memungkinkan setiap orang dalam organisasi untuk mengikuti perkembangan AI secara bertahap dan adaptif. 

Pada akhirnya, membangun literasi AI bukanlah program sesaat, melainkan sebuah investasi strategis jangka panjang. Organisasi yang berhasil mengembangkan pemahaman AI secara menyeluruh dan menyebarkannya ke seluruh lini akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk berinovasi, merespons perubahan pasar, serta menavigasi tantangan sosial dan etika di era digital. Literasi AI menjadi fondasi untuk memastikan bahwa teknologi yang diadopsi benar-benar memperkuat misi dan nilai organisasi. 

Source: 

Why You Need to Build AI Literacy Now — And How to Do It 

https://www.gartner.com/en/articles/ai-literacy?utm_campaign=RM_GB_2025_ITAI_C_BB1_Q2AIEMPOWERPEOPLE_MR_B_CHALLENGER&utm_medium=email&utm_source=Eloqua