Di era kecerdasan buatan (AI) yang berkembang pesat, muncul konsep baru dalam dunia kerja: superagency. Istilah ini diperkenalkan oleh Reid Hoffman, pendiri LinkedIn, untuk menggambarkan bagaimana manusia dapat memperbesar kapasitas dan pengaruhnya dengan bantuan AI. Dalam artikel “Superagency in the Workplace: Empowering People to Unlock AI’s Full Potential” (McKinsey, 2025), dijelaskan bahwa pekerja dengan superagency memiliki perbedaan mendasar dibandingkan pekerja tradisional. 

Apa bedanya? Pekerja tradisional bekerja dengan kemampuan individual—mengandalkan keahlian manual, pengalaman, dan pengetahuan mereka sendiri. Mereka mengumpulkan data, menganalisis, dan mengambil keputusan secara linear. Sementara itu, pekerja superagency didukung teknologi AI yang memperluas kemampuan mereka. AI bukan hanya alat bantu, tetapi menjadi co-pilot yang membantu menyusun rencana, mengolah data, memecahkan masalah, bahkan memberikan alternatif keputusan secara real-time. 

Pekerja superagency memiliki akses ke sumber daya, data, dan insight yang lebih cepat dan luas. Mereka dapat mengotomatisasi tugas-tugas repetitif, sehingga lebih fokus pada hal strategis dan kreatif. AI membantu mereka melihat pola tersembunyi dalam data, mensimulasikan skenario, atau bahkan menciptakan ide-ide inovatif melalui alat generatif seperti ChatGPT, Midjourney, dan Copilot. Dengan kata lain, pekerja superagency mampu “memperbesar dampak” mereka melalui kemitraan manusia-mesin. 

Selain kemampuan teknis, pekerja superagency juga ditandai dengan mindset adaptif dan kolaboratif. Mereka terbuka terhadap penggunaan AI dalam pekerjaan sehari-hari, aktif mencari cara baru memanfaatkan teknologi, serta berperan sebagai penggerak perubahan di lingkungannya. Mereka tidak hanya menguasai alat AI, tetapi juga memahami etika, risiko, dan tanggung jawab penggunaannya. Ini berbeda dengan pekerja tradisional yang cenderung mengikuti prosedur tetap dan mengandalkan kebiasaan lama. 

Namun, menjadi pekerja superagency bukan hanya tanggung jawab individu. Artikel McKinsey menekankan pentingnya organisasi menciptakan ekosistem yang mendukung: mulai dari pelatihan literasi AI, penyediaan infrastruktur digital, hingga kebijakan tata kelola data dan AI yang etis. Tanpa dukungan budaya dan struktur yang tepat, potensi superagency sulit diwujudkan. 

Dalam konteks dunia kerja masa depan, konsep superagency membuka peluang bagi siapa saja untuk bekerja lebih cerdas, bukan sekadar lebih keras. Ini adalah ajakan untuk bertransformasi: dari hanya menggunakan teknologi, menjadi mitra kolaboratif teknologi. Dengan demikian, AI bukanlah ancaman, melainkan katalisator yang memberdayakan manusia untuk mencapai lebih banyak.