Tokenisasi Aset Syariah: Tantangan Kepatuhan Syariah dan Pelaporan Akuntansi di Era Web3
Perkembangan teknologi Web3 dan blockchain menghadirkan peluang baru bagi industri keuangan syariah, salah satunya melalui konsep tokenisasi aset syariah. Tokenisasi memungkinkan aset riil seperti emas, properti, komoditas halal, atau aset pembiayaan syariah direpresentasikan dalam bentuk digital token yang dapat diperdagangkan dan diverifikasi secara terdesentralisasi (Tanveer et al, 2025). Meskipun inovasi ini menjanjikan efisiensi dan transparansi, penerapannya menimbulkan pertanyaan mendasar terkait kepatuhan syariah, struktur akad, serta implikasinya terhadap pelaporan akuntansi modern.
Dari perspektif syariah, tantangan utama terletak pada kejelasan akad yang mendasari token tersebut. Setiap token harus merepresentasikan hak kepemilikan atau manfaat yang sah menurut fiqh muamalah. Jika token mewakili fraksionalisasi kepemilikan aset, maka akad yang digunakan dapat berupa musyarakah atau ijarah, tergantung jenis manfaat yang ditransfer. Namun, banyak platform Web3 menyediakan token yang tidak memiliki kejelasan underlying asset (Breydo, 2024), sehingga berpotensi mengandung unsur gharar atau spekulasi yang dilarang secara syariah. Selain itu, penggunaan smart contract perlu diawasi agar selaras dengan prinsip-prinsip syariah terkait rukun dan syarat akad, serta tidak menimbulkan ketidakpastian dalam transaksi.
Dari sisi pelaporan akuntansi, tokenisasi aset syariah memunculkan tantangan baru bagi standar akuntansi seperti PSAK dan IFRS. Pertama, token harus diklasifikasikan secara tepat: apakah token aset termasuk aset tidak berwujud, instrumen keuangan, atau bukti kepemilikan atas aset fisik? Ketepatan klasifikasi menentukan pengukuran, pengakuan, dan metode valuasi yang digunakan. Kedua, volatilitas nilai token di pasar digital dapat menjadi kendala dalam menetapkan nilai wajar yang dapat diandalkan dalam laporan keuangan (Ugochukwu et al, 2024). Ketiga, auditor harus memastikan bahwa underlying asset benar-benar ada dan dimiliki entitas, sehingga verifikasi kepemilikan fisik dan integritas smart contract menjadi bagian penting dari audit.
Selain itu, tokenisasi dapat meningkatkan transparansi pelaporan karena blockchain menyediakan ledger immutabel yang mencatat setiap transaksi secara permanen. Hal ini berpotensi memperkuat akuntabilitas dalam pelaporan keuangan syariah dan mengurangi risiko penyelewengan. Namun, perlindungan data, regulasi aset digital, dan ketiadaan standar akuntansi khusus untuk crypto-asset syariah masih menjadi tantangan global.
Secara keseluruhan, tokenisasi aset syariah menawarkan peluang besar bagi transformasi keuangan syariah di era Web3, tetapi implementasinya membutuhkan kerangka kepatuhan syariah yang kuat dan pedoman akuntansi yang jelas. Tanpa tata kelola yang tepat, inovasi ini berisiko bertentangan dengan prinsip dasar syariah dan menimbulkan ketidakakuratan dalam pelaporan keuangan. Oleh karena itu, kolaborasi antara ulama, akuntan, regulator, dan pengembang teknologi menjadi kunci keberhasilan tokenisasi aset syariah di masa depan.
Referensi:
Breydo, L. (2024). The Broken Token Problem: Why Crypto Classification Remains Elusive. Seton Hall Law Review, 55(1). https://doi.org/10.60095/yelg2343
Tanveer, U., Ishaq, S., & Hoang, T. G. (2025). Tokenized Assets in a Decentralized Economy: Balancing Efficiency, Value, and Risks. International Journal of Production Economics, 282. https://doi.org/10.1016/j.ijpe.2025.109554
Ugochukwu, E. C., Falaiye, T., Mhlongo, N. Z., & Nwankwo, E. E. (2024). Accounting for digital currencies: A review of challenges and standardization efforts. International Journal of Science and Research Archive, 11(1). https://doi.org/10.30574/ijsra.2024.11.1.0317
Comments :