Perkembangan teknologi blockchain dalam lima tahun terakhir telah membuka jalan bagi transformasi besar dalam dunia keuangan dan akuntansi, salah satunya melalui konsep tokenisasi aset. Tokenisasi memungkinkan suatu aset fisik, seperti properti, komoditas, persediaan, atau bahkan karya seni, diubah menjadi representasi digital dalam bentuk token yang dapat diperdagangkan di platform blockchain. Inovasi ini tidak hanya merevolusi cara aset diperdagangkan, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendasar mengenai bagaimana aset tersebut harus diakui, diukur, dan dilaporkan dalam sistem akuntansi modern.

Secara sederhana, tokenisasi menciptakan “versi digital” dari aset fisik melalui digital token yang merepresentasikan kepemilikan, hak ekonomi, atau bagian dari nilai aset tersebut (Hanneke et al, 2024). Token ini dapat diperdagangkan secara cepat, aman, dan terdesentralisasi tanpa perantara tradisional. Namun, dari sudut pandang akuntansi, tokenisasi menghadirkan dilema baru mengenai bagaimana menentukan nilai wajar, kapan pengakuan dilakukan, dan bagaimana pelaporannya memenuhi standar IFRS/PSAK.

Pertama, tantangan utama terletak pada pengakuan dan klasifikasi tokenisasi aset. Menurut standar akuntansi yang berlaku, suatu aset harus memenuhi kriteria pengendalian, manfaat ekonomi masa depan, dan keandalan pengukuran. Pada aset yang ditokenisasi, perusahaan harus menentukan apakah token tersebut dikategorikan sebagai aset tidak berwujud, instrumen keuangan, atau bentuk kepemilikan langsung atas aset fisik (Kud, 2020). Ketiadaan panduan standar membuat perusahaan harus melakukan penilaian profesional (professional judgment) dengan mempertimbangkan substansi ekonomi transaksi. Misalnya, token yang merepresentasikan proporsi kepemilikan properti dapat diklasifikasikan sebagai instrumen ekuitas, sementara token utilitas yang hanya memberikan akses ke suatu layanan lebih tepat digolongkan sebagai aset tidak berwujud.

Kedua, terdapat persoalan mengenai pengukuran dan valuasi aset tokenisasi. Blockchain memungkinkan transaksi terjadi secara berkelanjutan, sehingga nilai token dapat berubah setiap detik, mirip dengan cryptocurrency. Dalam laporan keuangan, perubahan nilai ini harus mengikuti model pengukuran yang jelas—apakah menggunakan model biaya (cost model) atau nilai wajar (fair value model). IFRS dan PSAK cenderung mengarahkan entitas untuk menggunakan nilai wajar bagi aset digital, tetapi volatilitas pasar token menimbulkan tantangan serius dalam menjaga keandalan dan konsistensi pengukuran. Perbedaan harga antar platform, kurangnya likuiditas, dan potensi manipulasi pasar menjadi faktor risiko signifikan dalam pelaporan keuangan.

Ketiga, aspek pengungkapan (disclosure) dalam laporan keuangan juga mengalami perubahan besar. Standar akuntansi modern menuntut entitas memberikan pengungkapan transparan mengenai risiko teknologi, risiko pasar, model valuasi, kebijakan akuntansi, serta sensitivitas nilai token (Ugochukwu et al, 2024). Perusahaan yang menggunakan token untuk representasi aset fisik perlu menjelaskan mekanisme penghubung antara token dan aset nyata (asset backing), serta bagaimana memastikan bahwa nilai token benar-benar mencerminkan nilai ekonomis aset tersebut. Tanpa pengungkapan memadai, laporan keuangan berpotensi menyesatkan investor dan pemangku kepentingan lainnya.

Keempat, tokenisasi memiliki implikasi signifikan terhadap audit dan pengendalian internal. Auditor harus memastikan bahwa token benar-benar mencerminkan kepemilikan sah, memastikan keberadaan aset fisik (existence), menguji integritas smart contract, serta mengevaluasi keamanan sistem blockchain yang digunakan. Dalam banyak kasus, auditor dituntut memahami teknologi blockchain pada tingkat teknis agar dapat memberikan jaminan (assurance) yang memadai atas aset digital. Hal ini mendorong munculnya kompetensi baru dalam profesi akuntansi, termasuk pemahaman tentang distributed ledger, kriptografi, dan audit smart contract.

Terakhir, tokenisasi aset berpotensi mendorong modernisasi standar akuntansi, karena konsep-konsep lama seperti kepemilikan fisik, pencatatan manual, dan transaksi berbasis dokumen mulai tergantikan oleh representasi digital dan otomatisasi berbasis blockchain. Organisasi pengatur standar akuntansi di seluruh dunia sedang menyusun pedoman baru untuk mengakomodasi perkembangan ini, namun masih banyak ruang penelitian dan diskusi akademik yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pelaporan keuangan tetap relevan, akurat, dan andal di era digital.

Secara keseluruhan, tokenisasi aset bukan hanya inovasi teknologi, melainkan juga tantangan besar bagi dunia akuntansi modern. Ia menuntut reformasi cara kita memahami, mengukur, dan melaporkan aset dalam laporan keuangan. Dengan berkembangnya adopsi teknologi blockchain, profesi akuntan harus siap beradaptasi dan merumuskan pendekatan baru yang mampu menjawab kompleksitas ekonomi digital.

 

Referensi:

Hanneke, B., Hinz, O., Pfeiffer, J., & Aalst, W. M. P. van der. (2024). The Internet of Value: Unleashing the Blockchain’s Potential with Tokenization. Business & Information Systems Engineering, 66(4). https://doi.org/10.1007/s12599-024-00883-6

Kud, A. (2020). The Phenomenon of Virtual Assets: Economic and Legal Aspects. International Journal of Education and Science, 3(4). https://doi.org/10.26697/ijes.2020.4.3

Ugochukwu, E. C., Falaiye, T., Mhlongo, N. Z., & Nwankwo, E. E. (2024). Accounting for digital currencies: A review of challenges and standardization efforts [Review of Accounting for digital currencies: A review of challenges and standardization efforts]. International Journal of Science and Research Archive, 11(1), 2438. https://doi.org/10.30574/ijsra. 2024.11.1.0317