Perkembangan teknologi digital sudah mendorong perubahan dalam sistem keuangan global, saat ini masyarakan umum semakin akrab dengan sistem keuangan digital, mulai dari kartu debit, E-Banking, E-Wallet, hingga cryptocurrency . Fenomena tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan “Apakah sistem keuangan digital ini akan menggantikan mata uang konvensional?”. Beberapa negara sudah mengambil langkah konkret, seperti Tiongkok yang memperluas penggunaan e-CNY, Jepang yang mendorong inovasi pembayaran digital, dan Uni Eropa yang mempercepat pengembangan digital euro untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS (Kihara, 2025; Kurtenbach, 2025). Fenomena tersebutmenunjukan bahwa transformasi ke arah keuangan digital bukan lagi sebuah wacana, namun merupakan bagian dari strategi ekonomi dan geopolitik di masa ini.

Cryptocurrency  membawa inovasi populer dengan menawarkan keunggulannya dalam desentraslisasi, transparansi, dan kebebasan pengaruh dari pihak ketiga. Bitcoin sering disebut sebagai “emas digital” karena sifatnya yang langka dan terdesentralisasi. Namun, perdebatan akademik menyoroti bahwa cryptocurrency  masih terlalu volatil dan spekulatif untuk menjadi pengganti penuh uang fiat. Karakteristik pasokan yang terbatas membuatnya lebih cocok sebagai instrumen investasi daripada alat pembayaran yang stabil. Dalam konteks ini, parak ekonom berpendapat bahwa mata uang kripto saat ini belum memenuhi fungsi dasar dari alat pembayaran seperti uang tunai yaitu alat tukar yang stabil, satuan hitung yang konsisten, dan penyimpan nilai jangka panjang (Senner & Sornette, 2019)

Sementara itu, stablecoin  hadir sebagai alternatif solusi antara kedua sistem mata uang ini, dengan nilainya nilainya yang dirujuk pada aset riil seperti US dollar atau Euro. Stablecoin menawarkan volatilitas harga yang lebih rendah sekaligus kemudahan transaksi cross border, keunggulan ini membuat stablecoin mempunyai penggunanya sendiri oleh pelaku pasar internasional. Meski demikian, stablecoin memiliki keterbatasan pada kontrolnya yang dikuasai oleh perusahaan swasta yang menimbulkan pertanyaan mengenai regulasi, keamanan, serta stavilitas jangka panjang. Artikel Financial Times menyoroti persaingan antara stablecoin dan CBDC sebagai “pertarungan untuk masa depan uang,” di mana pemerintah dan otoritas moneter tidak ingin menyerahkan kendali penuh atas sistem keuangan kepada sektor swasta (Giancarlo, 2025).

Namun demikian, pertanyaan apakah cryptocurrency  dapat sepenuhnya menggantikan uang konvensional masih sangat terbuka. Dalam jangka pendek hingga menengah, cryptocurrency  kemungkinan besar hanya akan menjadi pelengkap dalam sistem keuangan global. Fungsi utamanya lebih banyak pada investasi dan diversifikasi portofolio, sementara peran sebagai alat tukar sehari-hari masih dipegang oleh mata uang fiat dan sistem pembayaran digital yang diatur pemerintah. Regulasi, adopsi massal, serta perkembangan infrastruktur teknologi menjadi faktor penentu apakah cryptocurrency  dapat bertransformasi menjadi mata uang utama atau tetap sebagai aset alternatif dengan pasar terbatas.

 

Referensi:

Giancarlo, J. C. (2025, May 26). Digital dollars must reflect American values. @FinancialTimes; Financial Times. https://www.ft.com/content/f1c85b75-ddea-4cf2-aa42-1728499371e3?utm_source=chatgpt.com

Kihara, L. (2025, June 11). Japan’s shift to cashless  society prods BOJ call for payment innovation. Reuters. https://www.reuters.com/world/china/japans-shift-cashless -society-prods-boj-call-payment-innovation-2025-06-11

Kurtenbach, E. (2025, August 21). China is expanding into digital currencies, hoping to promote use of its “people’s money.” AP News. https://apnews.com/article/stablecoin-currency-china-yuan-dollar-trump-fdc6bf0df8629e542f18fab50f5d32fd

Senner, R., & Sornette, D. (2019). The holy grail of crypto currencies: Ready to replace fiat money? Journal of Economic Issues, 53(4), 966–1000. https://doi.org/10.1080/00213624.2019.1664235