Semakin banyak kita mengetahui tentang carbon emissions (karbon emisi), semakin besar kemungkina kita bisa membantu memikirkan alternatif solusi untuk mitigasi carbon emissions. Dalam artikel ini, saya akan membantu menjelaskan apa itu carbon emissions dan kita fokuskan pada pembahasan carbon emissions – scope 2.

Kategori carbon emissions

Saat melaporkan carbon emissions, organisasi biasanya mengelompokkan emisi mereka menggunakan kerangka cakupan (scope):

Cakupan (scope) 1: Emisi langsung (direct emissions), kategori ini terkait dengan emisi yang terjadi dari sumber yang dimiliki atau dikendalikan oleh Perusahaan.

Cakupan (scope) 2: Emisi tidak langsung (indirect emissions), kategori ini terkait dengan emisi yang berkaitan dengan pembelian dan penggunaan energi (listrik, panas, uap dan/atau pendingin) dari sumber eksternal.

Cakupan (scope) 3: Emisi tidak langsung lainnya(other indirect emissions), kategori ini terkait dengan emisi tidak langsung yang tidak termasuk dalam scope 3. Emisi ini berasal dari value chain perusahaan penyusun laporan, termasuk dari kegiatan hulu dan hilir. Scope 3  biasanya menyumbang lebih dari 70 persen jejak karbon (carbon footprint) suatu bisnis, yang mencakup emisi dari hal-hal seperti perjalanan perusahaan, perjalanan karyawan, barang dan jasa yang dibeli, pembuangan limbah, serta transportasi dan distribusi produk-produknya.

Dengan makin meningkatnya perhatian dunia terhadap climate change, ratusan negara yang telah menandatangani Kyoto Protocol, telah memulai membuat kebijakan dan peraturan untuk mendorong organisasi dan entitas berpartisipasi dalam mitigasi carbon emissions. Salah satunya adalah dengan beralih ke penggunaan sumber energi terbarukan (renewable energy). Pertanyaannya, bagaimana kita menghitung  scope 2 carbon emissions yang berasal dari renewable energy?

Scope 2 carbon emissions: pembelian renewable energy

Saya awali penjelasan saya dengan contoh ya. datacenters.com (https://www.datacenters.com/) adalah penyedia layanan data yang beroperasi di beberapa pusat data besar (big data center) di Inggris. Pusat data ini tentunya mengkonsumsi listrik siang dan malam, sepanjang tahun untuk pendingin ruangan, system keamanan dan sebagainya. Inilah yang kita  sebut sebagai bisnis operasi yang berpotensi karbon intensif tinggi.

Untuk memenuhi kebutuhan energinya, datacenters.com telah membeli 100% kebutuhan energinya dari dua perusahaan energi terbarukan (renewable energy) di Inggris, yaitu energi tenaga angin dari Gusty Plc dan energy dari tenaga surya dari Sunny Ltd. Tentunya kita akan bertanya, “apa yang terjadi di malam yang tenang? Ketika tidak ada tenaga angin atau surya yang tersedia?” Bukankah datacenters.com masih membutuhkan listrik?

Dalam hal ini, kebutuhan energi entitas data center ini dapat ditenagai oleh berbagai jenis sumber energi, seperti gas alam, air, nuklir, batu bara, dan lain-lain. Jadi, energi yang dibeli datacenters.com dari Gusty Plc dan Sunny Ltd tersebut, setara dengan total energi yang mereka konsumsi pada tahun tertentu. Di Inggris, pembelian sumber energi terbarukan dikenal dengan Renewables Obligation Certificates (ROCs). Di tempat lain dikenal dengan nama lain seperti: Sertifikat Energi Terbarukan.

Penghitungan Scope 2 carbon emissions ini harus memperhitungkan perbedaan sumber renewable energy dan non-renewable energy. Penghitungannya juga membedakan antara emisi berbasis lokasi (location-based) dan berbasis pasar (market-based). Dan organisasi seharusnya mampu  mengidentifikasi dan menunjukkan kredensial bisnis ramah lingkungan mereka dengan menghitung kedua jenis emisi tersebut. Saya akan jelaskan perbedaan location-based dan market-based scope 2 carbon emissions pada part 2 dari tulisan saya ini ya.

Gambar diambil dari:

Renewable Energy Generates Enough Power for Homes – Halcol Energy

Referensi:

Renewables Obligation (RO). Renewables Obligation (RO) | Ofgem

World Resources Institute and World Business Council for Sustainable Development. 2004. The Greenhouse Gas Protocol. The USA. ghg-protocol-revised.pdf (ghgprotocol.org)