Thinking Sustainability in Restaurant

Seperti kebanyakan orang, saya selalu memulai hari saya dengan makan. Kita makan untuk memulai hari. Kita makan untuk nutrisi. Anda mungkin biasanya tidak terlalu memikirkannya.

Dengan cara ini, hubungan kita dengan makanan mungkin merupakan hubungan terkuat dengan lingkungan alam kita, yang sebagian besar dari kita akan miliki dalam kehidupan kita sehari-hari. Makanan menghubungkan kita ke tanah dan laut. Sebagai bagian dari ekosistem akademik, misi abadi kita adalah untuk bereksperimen, untuk menemukan cara penyediaan makanan bagi kita, yang bisa lebih berkelanjutan, lebih bertanggung jawab, tanpa mengorbankan kenikmatan makanan kita.

Ketika pengusaha restoran yang mulai berwawasan lingkungan pertama kali memulai partisipasi dalam sustainable business, mereka akan lebih berfokus pada hal-hal seperti pengemasan. Mereka juga berpikir mengenai begitu banyak serbet dibawa untuk pesanan makanan dibawa pulang. Namun demikian, sebenarnya, dampak terbesar dari bisnis restaurant ini, berasal dari bahan mentah dari makanan itu sendiri. Banyak orang tidak mengetahui jumlah gas rumah kaca (Green House Gas/GHG) yang berasal dari hewan yang merumput, seperti: sapi, kambing, kelinci, dan sebagainya. Kita sebaiknya menganggapnya sangat serius, karena daging yang digunakan dalam makanan kita, selama hidup di peternakan, sebenarnya telah menyerap lebih banyak karbon dari atmosfer. Jadi ketika kita menyembelih ternak itu, maka berkuranglah salah satu sumber penyerap karbon di atmosfir kita.

Jika anda mengetahui rumah kaca aquaponic dimana aquaponic adalah salah satu cara untuk menghasilkan makanan organik: Ikan dan Sayuran. Rumah ikan akan menghasilkan ikan air tawar (nila) di tangki air besar dan air limbah akan diolah dan dipompa ke rumah kaca. Sayuran di rumah kaca akan tomat organik ceri, selada dan lainnya akan dapat dipanen dengan rasa yang sempurna. Selain itu, dengan rumah kaca aquaponic, petani akan dapat memproses banyak limbah dari restoran sehingga mereka akan mengambil sisa sayuran yang belum diolah. Bisa juga, sisa sayuran restaurant itu, digunakan untuk memberi makan cacing dan kemudian akhirnya mengubah cacing menjadi makanan ikan untuk memberi makan ikan, dan kemudian ikan pada gilirannya akan menyuburkan air yang digunakan untuk sayuran dan tanaman lain untuk restoran.

Mari kita usahakan untuk menghasilkan NOL limbah, menghasilkan NOL jejak karbon (carbon footprint) ketika membuat jenis masakan yang lezat dan lezat. Mari kita mulai cara baru berternak, bertani sayuran atau pemupukan biji-bijian tanah untuk hewan, dan secara konsisten mempraktikannya. Bisnis restoran ini selalu dipertanyakan bagaimana mereka bisa berpartisipasi dalam melakukan sustainable business.

 

Referensi:

Linda Kusumaning Wedari, S.E., M.Si., Ph.D., Ak., CA., CLI., CSRA