Agency Problem: Shareholders Vs Creditors

Tulisan saya kali ini merupakan lanjutan dari tulisan saya sebelumnya mengenai masalah keagenan yang mungkin timbul dalam agency relationship. Ada beberapa tipe hubungan keagenan (agency relationship), yaitu hubungan manager (agent) dengan shareholders (principals), dan hubungan shareholders yang diwakili oleh manager (agent) dengan creditors (principal). Tipe agency relationship yang pertama, manager (agent) dengan shareholders (principals) telah saya jelaskan dan dapat anda baca Kembali di link ini.

Dalam tulisan ini saya hanya akan membahas masalah yang timbul dalam agency relationship antara shareholders yang diwakili oleh manager (agent) dengan creditors (principal).

  1. Excessive dividend payments ke pemilik
    Ketika meminjamkan dana, creditors (lenders) akan memperhitungkan biaya hutang ke perhitungan estimasi DPR. Bila manajer menetapkan pembayaran dividend yang tinggi, hal ini dapat menyebabkan penurunan asset yang bisa dijadikan jaminan hutang atau kemampuan perusahaan untuk bayar kembali hutang beserta bunganya. Oleh karena hal ini, lender akan membuat kontrak (debt covenant) untuk melindungi kepentingan mereka, dengan cara menetapkan ceiling (upper limit DPR).
  2. Underinvestment
    Masalah keagenan dapat muncul ketika manajer, atas nama shareholders, yang telah memiliki jumlah hutang cukup tinggi, cenderung untuk tidak memilih project dengan positif NPV (melepaskan peluang investasi) untuk dapat meningkatkan dana yang tersedia untuk membayar pokok dan bunga pinjaman. Hal ini dikarenakan, shareholder memiliki keyakinan bahwa dengan berinvestasi disaat tingkat leverage (hutang) perusahaan yang cukup tinggi berarti kreditur akan mendapatkan keuntungan lebih dari pemilik. Seperti kita ketahui, kreditur akan memiliki klaim pertama atas asset perusahaan bila perusahaan dalam kondisi kesulitan keuangan (financial distress) dan tidak mempu membayar kembali hutangnya. Jika arus kas dari investasi prospektif masuk ke kreditur, maka tidak akan ada insentif bagi shareholders untuk melanjutkan investasi. Untuk menghindari terjadinya underinvestment ini, lender cenderung akan memberi keleluasaan bagi manajer untuk menggunakan dana hutang untuk kesempatan investasi yang menguntungkan.
  3. Assets substitution
    Karena shareholders menginginkan investasi dengan high return, maka manager yang bertindak atas nama shareholders, cenderung untuk memperoleh asset dengan resiko tinggi dengan tujuan untuk dapat menghasilkan return tinggi bagi shareholders. Lenders melihat adanya resiko tinggi dari strategi ini. Di satu sisi lenders hanya akan menikmati return sebatas interest rate sedangkan sisa return investasi asset akan dinikmati oleh shareholders. Di sisi lain, jika investasi asset ini gagal, maka akibatnya perusahaan tidak mampu membayar hutang dan bunganya. Oleh karena itu, lenders tidak ingin perusahaan menjalankan investasi asset yang seperti ini. Dalam debt covenant, lenders akan mengatur investasi yang seperti ini.
  4. Claim dilution (pencairan)
    Hutang adalah jumlah klaim atas asset entity. Lender tidak akan suka bila entity terus menambah hutang, karena berarti akan memperkecil porsi asset yang bisa diklaim. Hal ini bisa membahayakan kemampuan entitas dalam membayar kembali hutang dan bunganya. Maka, lender akan mencantumkan dalam debt covenant untuk membatasi penambahan hutang atau hutang dengan pelunasan (maturity date) lebih awal.

Referensi:

  • Godfrey, Jayne; Hodgson, Allan; Tarca, Ann; Hamilton, Jane; Holmes, Scott. 2010. Accounting Theory. 7th Edition. Wiley Publisher.

Image Sources: Google Images

Linda Kusumaning Wedari, S.E., M.Si., Ph.D., Ak., CA., CLI., CSRS