Teknologi transportasi kini masuk babak baru dengan hadirnya konsep self-driving vehicle atau kendaraan tanpa sopir. Ide bahwa mobil atau kendaraan lainnya mampu untuk berjalan dan mengendalikan dirinya sendiri tanpa adanya campur tangan manusia dulu terdengar seperti cerita fiksi ilmiah dari film-film. Namun, saat ini perusahaan besar seperti Tesla, Google melalui Waymo, hingga Baidu di Tiongkok, sudah melakukan uji coba kendaraan otonom di jalan raya. Kehadiran teknologi ini menarik perhatian banyak pihak, mulai dari remaja yang penasaran dengan kecanggihan, orangtua yang khawatir soal keselamatan, hingga masyarakat umum yang bertanya-tanya tentang masa depan transportasi. Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah kendaraan ini benar-benar bisa diandalkan, dan seberapa aman untuk digunakan sehari-hari?

Pertama, kita tentunya perlu untuk memahami bagaimana konsep self-driving vehicle bekerja. Kendaraan ini menggunakan kombinasi sensor, kamera, radar, dan teknologi lidar untuk mendeteksi lingkungan sekitarnya. Data yang dikumpulkan kemudian diproses oleh sistem kecerdasan buatan (AI / Artificial Intelligence) yang membuat keputusan secara real-time, seperti kapan kendaraan harus berhenti, berbelok, ataupun mempercepat lajunya. Teknologi ini dirancang agar lebih cepat bereaksi dibanding manusia, sehingga bisa mengurangi risiko kecelakaan akibat kelalaian sopir. Misalnya, mobil bisa langsung mendeteksi pejalan kaki yang menyeberang meski dalam kondisi gelap. Dari sisi teknis, hal ini membuktikan bahwa konsep dari self-driving vehicle bukan hanya mungkin, tetapi juga realistis untuk diterapkan. Namun, tantangan tetap ada ketika menghadapi situasi jalan yang kompleks dan tidak terduga.

Kedua, isu keamanan menjadi perdebatan utama dalam pengembangan self-driving vehicle. Banyak orangtua masih meragukan apakah teknologi ini bisa menggantikan insting manusia dalam mengemudi. Beberapa kasus kecelakaan yang melibatkan mobil otonom memang pernah terjadi, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang batas kemampuan sistem AI. Meski begitu, data menunjukkan bahwa sebagian besar kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti mengantuk atau menggunakan ponsel saat mengemudi. Dengan mengurangi faktor manusia, kendaraan otonom justru bisa meningkatkan keselamatan secara signifikan. Akan tetapi, masih dibutuhkan pengujian lebih luas di berbagai kondisi jalan, cuaca, dan budaya berkendara. Keselamatan tetap menjadi prioritas utama agar publik merasa percaya.

Ketiga, self-driving vehicle juga menjanjikan banyak manfaat praktis. Bagi remaja yang belum memiliki SIM, teknologi ini bisa menjadi cara untuk bepergian tanpa bergantung pada sopir lain. Bagi orangtua dan lansia, kendaraan ini bisa membantu menjaga mobilitas tanpa khawatir soal kelelahan atau kemampuan mengemudi yang menurun. Dari sisi publik umum, transportasi otonom dapat mengurangi kemacetan jika dikelola dengan sistem yang terintegrasi. Selain itu, efisiensi bahan bakar dan energi juga bisa ditingkatkan karena komputer mampu mengatur kecepatan secara optimal. Dengan kata lain, jika teknologi ini matang, manfaatnya tidak hanya pada kenyamanan, tetapi juga pada efisiensi sosial dan lingkungan. Potensi positif ini membuat banyak negara berlomba untuk mempercepat adopsinya.

Keempat, tetap ada tantangan besar yang harus diatasi sebelum self-driving vehicle benar-benar bisa digunakan secara massal. Infrastruktur jalan di banyak negara, termasuk Indonesia, belum sepenuhnya mendukung teknologi ini. Rambu lalu lintas, marka jalan, dan jaringan internet berkecepatan tinggi merupakan faktor penting agar kendaraan otonom dapat bekerja dengan baik. Selain itu, ada masalah hukum: siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan, pengguna atau perusahaan penyedia teknologi? Tidak kalah penting, risiko peretasan (hacking) juga menimbulkan ancaman serius bagi keamanan pengguna. Oleh karena itu, selain aspek teknis, regulasi dan keamanan siber juga harus dikembangkan secara seimbang. Semua ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat.

Pada akhirnya, self-driving vehicle adalah teknologi yang menjanjikan masa depan transportasi lebih aman, nyaman, dan efisien. Meskipun masih ada tantangan, perkembangan yang sudah dicapai menunjukkan bahwa hal ini bukan sekadar mimpi. Baik remaja, orangtua, maupun publik umum perlu memahami bahwa perubahan ini akan datang secara bertahap, bukan sekaligus. Semakin cepat masyarakat beradaptasi dengan teknologi ini, semakin besar pula manfaat yang bisa dirasakan. Keamanan tetap harus menjadi prioritas utama agar publik merasa tenang dalam menggunakannya. Dengan kerja sama berbagai pihak, self-driving vehicle berpotensi mengubah cara kita bepergian di masa depan. Jadi, jawabannya: ya, kendaraan ini bisa, dan keamanannya terus ditingkatkan untuk melayani kita semua.

Referensi

  1. S. Thrun, “Toward robotic cars,” Communications of the ACM, vol. 53, no. 4, pp. 99–106, Apr. 2010, DOI: 10.1145/1721654.1721679.
  2. M. Bojarski et al., “End to end learning for self-driving cars,” arXiv preprint arXiv:1604.07316, 2016. [Online]. Available: https://arxiv.org/abs/1604.07316
  3. J. Anderson, K. Nidhi, K. Stanley, P. Sorensen, C. Samaras, and O. Oluwatola, Autonomous Vehicle Technology: A Guide for Policymakers. Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2016.

September 2025
Penulis: Riccosan
*Artikel ini dibuat dengan bantuan AI dan hanya berfungsi sebagai artikel edukasi secara umum