Oleh : Aris Darisman

Pada artikel kali ini akan dipaparkan tentang sebuah media alternatif “rekam” budaya popular.

T-shirt/Tees adalah sebuah produk pakaian yang sangat akrab dengan keseharian kita. Bentuk polanya sangat sederhana, pada umumnya memang menyerupai bentuk huruf “T”, oleh karenanya dikenal juga dengan sebutan T- Shirt. Jenis pakaian ini masuk dalam kategori pakaian santai/non formal.

Apabila kita tarik jauh ke belakang terkait sejarah t-shirt ini, bahwa pakaian ini tidak lebih hanya sebagai produk fungsional yang mulai digunakan pada abad ke 19. Pada masa itu t-shirt justru dirancang untuk tidak terlihat (layaknya sebuah pakaian dalam).

Awal mula T-shirt berasal dari Eropa di mana tentara AS pada saat itu cukup terganggu dengan seragam mereka karena seragam wolnya menyebabkan mereka berkeringat. Namun sementara rekan-rekan Eropa mereka tidak terlalu dibatasi dalam kaus katun ringan mereka selama Perang Dunia Pertama. Angkatan Laut A.S. kemudian mengeluarkan kaus dalam katun putih berleher kru, lengan pendek, dan berwarna putih. Menjadi sangat umum bagi para pelaut dan marinir untuk mengenakan kaus dalam katun ringan yang nyaman ini di bawah seragam mereka. Pada 1920-an T-shirt telah menjadi istilah resmi dalam kamus Amerika-Inggris. Dan pada akhir tahun 1930-an beberapa pengecer A.S. memasarkannya, yaitu Fruit of the Loom, Hanes dan Sears, dan Roebuck & Co.

Pelaut AS memakai t-shirt sebagai bagian dari seragam mereka.

Kaos katun kemudian menjadi pakaian dalam standar di angkatan bersenjata AS selama Perang Dunia Kedua. Belakangan menjadi sangat umum melihat tentara AS yang mengenakan celana seragam mereka dengan T-shirt mereka sebagai pakaian kasual.

Kemudian pada 1940-an dan 1950-an, perguruan tinggi di A.S. mulai mencetak nama dan logo mereka di t-shirt, biasanya menggunakan font iron-on flock di masa-masa awal. Ini menjadi merchandise dan dijual di toko merchandise dan souveneer kampus. T-shirt mulai menjadi sebuah media untuk menyampaikan kebanggan terhadap alma mater . Bahkan hampir semua kampus di seluruh dunia memiliki t-shirt khas yang merepresentasikan identitas dan kebanggaan mereka tersebut. Tidak terkecuali di Indonesia.

Namun pada perkembangan selanjutnya produk ini menjadi sebuah produk yang dapat dibilang telah mewakili icon sebuah budaya tertentu, budaya popular. Hollywood turut andil memberikan besar pada T-shirt. Diawali oleh seorang actor muda pada saat itu, Marlon Brando dalam filmnya yang berjudul “A Street Car Named Desire”, dirilis pada tahun 1951. Dalam Film itu, hampir di sebagian besar adegannya sang aktor selalu mengenakan t-shirt polos berwarna putih dipadu dengan celana jeans (denim) classic. Remaja di seluruh negeri menjadi “liar” karena penampilannya. Empat tahun kemudian, James Dean melalui filmnya “Rebel Without a Cause” mengejutkan dunia dengan memperlihatkan t-shirt putihnya sebagai pakaian dalam dipadu dengan jaket warna merah dan celana jeans (denim).Hal ini selain menandai perkembangan T-shirt yang telah lama ditunggu-tunggu dari pakaian dalam menjadi pakaian luar, sekaligus menanamkan gaya dengan daya tarik seks yang modis. Melalui para pesohor tersebut t-shirt seakan menjadi agen provocateur sebuah gelombang gaya dalam dunia fashion.

Asosiasi pemberontak adalah katalisator gaya yang diinginkan oleh kaum muda saat itu dan bertepatan dengan kelahiran rock and roll. Popularitas t-shirt dengan gaya band rock and roll meledak pada tahun 1970-an, tetapi akarnya tetap kuat di tahun 1960-an. Grateful Dead – yang pertama kali menyadari potensi yang muncul ini untuk menjual T-shirt serta tiket pertunjukan di berbagai tempat. Industri musik memanfaatkan T-shirt ketika band rock mulai menjual T-shirt dengan slogan dan gambar mereka di konser. Belakangan, t-shirt bergaya tie-dye menjadi kegemaran secara keseluruhan terutama pada tahun 1969 ketika pengiklan Don Price memproduksi ratusan t- shirt dan memberikannya di Woodstock.

Para pesohor baik actor, model maupun para musisi dengan bandnya selain menjadi duta budaya popular pada saat itu juga menjadi corong yang turut “mengkampanyekan” penggunaan kaos sebagai pakaian keseharian bahkan kaos tidak hanya sekedar menjadi pakaian pelengkap (pakaian dalam) saja,namun juga memposisikan produk ini sebagai bagian dari produk fashion.

Hal ini menjadi pengikat produk dilekatkan pada sosok/figure atau peristiwa penting dan fenomena budaya popular pada masanya. Sehingga pada ahirnya produk kaos dapat disebut sebagai artefak sebuah budaya popular. Bahkan melalui desainnya, T-shirt dapat dikategorikan sebagai media “alternatif” perekam budaya popular.

Pada perkembangan selanjutnya, t-shirt tidak hanya tampil dalam bentuknya yang polos dengan desain/pola yang standar menyerupai huruf T saja, Namun sejumlah perancang busana melalui rahim kreatifitanya melahirkan t-shirt dalam wujud dan desain yang semakin kreatif dan atraktif. Bahkan t-shirt telah menjadi bagian dari fashion statement penggunanya.

Salam, Aris D