Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-44 BINUS: Banyak Startup Teknologi Gagal karena Fraud, Pendidikan Tinggi Didorong Ambil Peran.
Jakarta, 1 Juli 2025 – Universitas Bina Nusantara (Binus) memperingati Dies Natalis ke-44 dengan orasi ilmiah bertajuk “Kecurangan, Kebohongan, dan Unicorn: Pelajaran Pahit dari Kegagalan Startup Teknologi Indonesia”, yang disampaikan Prof. Gatot Soepriyanto, Ph.D guru besar bidang Fraud Examination, School of Accounting, Binus University. Orasi ini mendiskusikan secara mendalam tentang penyebab rentetan kecurangan pada startup teknologi yang menjerat ekosistem digital Indonesia ke dalam krisis kepercayaan.
Angka Terkini: Skala Kerusakan di Ekosistem Digital Karena Kecurangan
- Nilai Kerugian Potensial: Berdasarkan audit dan laporan investigasi, kelima kasus—eFishery (US$600 juta atau ~Rp9,6 triliun), KoinWorks (Rp365 miliar), Investree (diperkirakan Rp350 miliar), TaniFund (Rp200 miliar), dan Crowde (~Rp35 miliar)—mengakumulasi potensi kerugian kurang lebih Rp11,15 triliun
- Dana pemodal Venture Capital di Asia Tenggara turun dari US $21,2 miliar pada 2021 menjadi US $18,2 miliar pada 2023, sebagian besar disebabkan kekhawatiran akibat fraud startup di Indonesia
- Penurunan Valuasi Unicorn: Jika kepercayaan investor jatuh akibat fraud, valuasi unicorn berpotensi merosot 2–3% per tahun, yang bisa berarti hilangnya Rp4 triliun nilai pasar per tahun.
Temuan Penting Orasi: Tata Kelola Lemah Jadi Akar Fraud Startup Teknologi
- Kepemimpinan Menentukan Arah Perusahaan
Penelitian pada kasus eFishery, Investree, KoinWorks, dan Crowde menunjukkan bahwa “tone at the top” sangat krusial: ketika CEO terlibat fraud, kontrol internal sekuat apa pun dapat dilewati. Budaya integritas yang ditanamkan pimpinan terbukti jadi garis pertahanan pertama terhadap fraud.
- Tata Kelola yang Tertinggal Picu Risiko Sistemik
Struktur pengawasan di banyak startup fintech tertinggal jauh dibandingkan dengan besarnya dana yang mereka kelola. Kelemahan tata kelola ini menimbulkan risiko hilangnya kepercayaan investor dan menurunkan daya tarik ekosistem digital Indonesia bagi investor global.
- Fraud Triangle Masih Relevan
Konsep tekanan, peluang, dan rasionalisasi (fraud triangle) tetap terbukti pada keempat kasus: tekanan mengejar valuasi, peluang karena lemahnya kontrol internal, dan rasionalisasi bahwa “kecurangan demi misi sosial” atau “semua startup melakukannya” menjadi pola berulang.
- Budaya “Fake It Till You Make It” Berpotensi Fatal
Tuntutan hyper-growth dan mentalitas menutup-nutupi performa menimbulkan dilema etika serius. Ketika ekspektasi pasar mendorong pendiri untuk “mempercantik” fakta, mereka bisa terjebak dalam kebohongan yang akhirnya menjerumuskan perusahaan ke kehancuran.
Saran untuk Pendidikan Tinggi & Ekosistem Digital
- Kurikulum kewirausahaan perlu memasukkan etika bisnis, tata kelola, dan literasi keuangan.
- Mahasiswa harus diajak mempelajari studi kasus nyata agar memahami konsekuensi nyata fraud.
- Kolaborasi dengan regulator seperti OJK perlu diperkuat untuk menghadirkan edukasi regulasi sejak bangku kuliah.
- Investor, media, dan regulator juga harus bersama-sama mengubah insentif ekosistem: menilai keberhasilan tidak hanya dari pertumbuhan cepat, tapi juga tata kelola yang sehat.
Orasi ini menekankan perlunya reformasi tata kelola startup Indonesia dengan:
Audit & Pengawasan Ketat
Audit independen segera wajib untuk semua platform P2P berizin guna mendeteksi dini ketidakwajaran. Regulator harus menegakkan aturan modal dan pelaporan dengan sanksi tegas, serta menjaga komunikasi terbuka agar publik memahami langkah-langkah pemulihan kepercayaan.
Rencana 1–2 Tahun: Perketat Tata Kelola & Kemitraan
Investor dan industri didorong menyusun daftar periksa standar tata kelola dan menempatkan pakar independen di dewan startup. Bank harus memperketat kemitraan dengan fintech, termasuk memiliki hak audit. Asosiasi fintech diimbau membentuk mekanisme whistleblowing untuk menampung laporan pelanggaran.
Rencana 2–5 Tahun: Tata Kelola Wajib & Transparansi
Startup besar perlu diwajibkan memiliki komisaris independen, audit internal, dan melaporkan tingkat kegagalan pinjaman secara berkala. Praktik tata kelola seperti dewan penasihat eksternal, aturan dua penandatangan transaksi besar, budaya audit, dan kode etik harus diadopsi. Dukungan inkubator/akselerator sebaiknya bergantung pada keseriusan startup menerapkan akuntabilitas.
Rencana Jangka Panjang (>5 Tahun): Budaya Etis & Pengawasan Modern
Dibutuhkan unit pengawasan digital finance dengan RegTech/SupTech untuk deteksi anomali berbasis data. Pendidikan etika harus melahirkan generasi founder berambisi sekaligus berintegritas. Penghargaan nasional untuk etika kewirausahaan perlu dibentuk sebagai teladan. Penelitian kolaboratif di bidang risiko fraud startup dan pengaruh budaya juga penting, serta startup harus dibiasakan melakukan self-audit setelah setiap insiden besar.
“Startup bukan melulu soal ide besar. Tanpa integritas, kita hanya membangun mimpi palsu yang suatu saat akan menghancurkan bukan hanya perusahaan, tetapi kepercayaan pada ekonomi digital kita,” tegas Prof. Gatot.
“Kita terbuai istilah unicorn. Padahal di balik tanduknya, tata kelola banyak yang ompong,” sindir Prof. Gatot.
“BINUS berkomitmen menyiapkan talenta digital yang tak hanya piawai inovasi, tetapi juga berintegritas. Orasi ini bagian dari kontribusi akademik BINUS bagi pembangunan ekonomi nasional.”papar Prof. Gatot.
“Orasi ilmiah ini menjadi seruan bagi seluruh ekosistem startup, regulator, dan akademisi untuk bersama-sama memperkuat tata kelola dan mencegah krisis kepercayaan yang dapat menghambat Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045,” tutup Prof. Gatot.