Oleh:
Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil

Anna Elisabetta Galeotti, peneliti yang fokus terhadap problem toleransi dan pluralisme dari Universitas Eastern Piedmont Amedeo Avogadro, Italia pernah menyebutkan dalam bukunya Toleration as Recognition (2004) bahwa di tengah kondisi intoleran muncul kerinduan dan pengharapan akan hadirnya sikap toleransi. Toleransi adalah model kebajikan hidup yang selalu diminta, diharapkan bahkan diperjuangkan dalam ruang hidup kolektif yang majemuk.

Toleransi mula-mula dimengerti sebagai sikap yang membiarkan orang lain hidup dalam perbedaannya dan kita tidak merasa ada persoalan dengan itu semua. Pengertian ini sarat dengan bobot yang indifferent. Inilah pengertian toleransi yang ditelusuri Elisabetta Galeotti sebagai pendekatan netral toleransi dalam khazanah pemikiran liberal Barat. Dalam arti netral, toleransi memang menyuarakan kebebasan untuk menampilkan keseluruhan identitas warga terbatas di ruang pribadi, seperti: di keluarga dan tempat komunitas yang homogen. Namun, dalam hidup bersama yang majemuk, pendekatan netral ini sama sekali tidak sensitif terhadap tuntutan kesetaraan kaum minoritas untuk sama-sama diterima dan diakui dengan warga mayoritas sebagai suatu kebijakan publik yang resmi (Galeotti 2004, 75-78).
Itu berarti, di satu sisi, toleransi menjadi kata kunci yang vital dalam hidup bersama yang majemuk dan didambakan oleh kelompok minoritas, tetapi di sisi lain, toleransi secara netral tidaklah mencukupi bagi kaum minoritas. Toleransi dalam arti dibiarkannya segala perbedaan untuk dapat bebas hidup, sesungguhnya hanya berdaya dalam ruang privat. Namun, dalam ranah kebijakan publik, orientasi netral ini sama sekali tidak memberikan basis legitimasi apapun untuk menjamin kesetaraan minoritas dan pengakuan terhadapnya. Toleransi perlu melangkah lebih jauh lagi.

Oleh karena itu, Galeotti keluar dari batasan pengertian toleransi tradisional itu. Toleransi tidak sekadar membiarkan, melainkan mengakui. Toleransi adalah sebuah sikap mengakui keberadaan kaum minoritas sebagai pihak yang setara dengan warga mayoritas. Atas dasar pengakuan itu, kaum minoritas seperti para imigran, minoritas agama & kaum LGBT sebagai kelompok terpinggirkan karena perbedaan identitas dan cara hidupnya dari masyarakat mayoritas dapat dirangkul, diterima dan diakui keberadaannya sebagai warga negara/warga masyarakat yang setara. Dan karena itu, hak-hak mereka juga dijamin dan dilindungi konstitusi. Toleransi dengan semangat pengakuan inilah yang diajukan Galeotti agar sikap toleran dapat membawa rahmat bagi mereka yang marjinal. Saya melihat bahwa pemikiran Galeotti tampaknya memang meminjam pemikiran politik pengakuan (politics of recognition) Charles Taylor dalam bukunya Multiculturalism & Politics of Recognition (1993).

Dengan kata lain, seperti apakah wujud konkret bertoleransi? Yaitu, ketika kita bersedia mengakui yang lemah dan terpinggirkan dalam seluruh keberlainannya sebagai anggota keluarga bersama yang setara. Bahwa dengan mengakui mereka yang marjinal, menurut Galeotti di situ ada keadilan. Namun, saya melihat toleransi tidak dapat berhenti hanya pada tuntutan pengakuan atau mandek pada perkara keadilan, meski pengakuan dan keadilan tetap merupakan syarat awal yang harus dipenuhi dalam hidup bersama yang plural. Akan tetapi, setelah syarat pengakuan terpenuhi, toleransi mesti bergerak ke level selanjutnya, yaitu semangat merawat harmoni dan persaudaraan dalam hidup bersama yang beragam.

Itu artinya, toleransi mesti memperbarui pengertiannya, yaitu sebagai dorongan jiwa individu/kelompok untuk saling menerima, mengakui seluruh keberlainan orang lain dan saling peduli memberikan rasa kemanusiaan dalam seluruh keberlainan (perbedaan) identitas primordial orang lain. Di situ toleransi hanya dimungkinkan ketika ada keterbukaan hati untuk bersedia menerima yang berbeda dengannya. Hati dan pikiran terbuka adalah fundamen untuk menerima orang lain dalam seluruh perbedaannya secara positif, tanpa curiga, cemas dan takut. Keterbukaan hati pikiran adalah dasar yang sangat pokok dalam republik toleransi. Yang menarik bahwa keterbukaan hati tidak saja sebuah dasar, melainkan juga sebuah daya dorong bagi orang yang telah diterima untuk turut memiliki keterbukaan hati terhadap yang lain. Itulah mutualitas dalam toleransi yang berjangkar kepada keterbukaan hati dan pikiran: untuk saling menerima, mengakui, dan juga peduli. Kepedulian perlu hadir agar tindakan penerimaan dan pengakuan terhadap mereka yang berbeda sungguh nyata sebagai kewajiban kemanusiaan.[***]

Referensi:

Galeotti, Anna Elisabeth. 2004. Toleration as Recognition. Cambridge: Cambridge University Press.

Taylor, Charles. Multiculturalism & Politics of Recognition. 1993. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.