Oleh:
Yuventia Prisca, S.Sos., M.Fil

Toleransi sebagai sikap mengakui kaum minoritas dalam pemikiran Anna Elisabetta Galeotti dalam bukunya Toleration as Recognition (2004) memang mengambil latar belakang negosiasi kaum minoritas kelompok imigran dengan warga negara setempat di negara-negara Eropa Barat di pertengahan abad 20 lalu. Namun, toleransi dalam semangat pengakuan terhadap minoritas juga relevan dalam konteks Indonesia. Hal ini dapat ditunjuk secara terang-benderang dalam momen revisi tujuh kata sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta. Implikasinya sangat vital, yaitu kesetaraan hak dan kewajiban di antara seluruh warga bangsa Indonesia yang dijamin dan dilindungi secara moral-etis oleh Pancasila dan legal-formal oleh UUD 1945. Kesetaraan itu menciptakan keadilan bagi warga bangsa Indonesia selain pemeluk agama mayoritas Islam.

Bertolak dari peristiwa historis penyusunan Pancasila, toleransi dengan bobot makna saling menerima, mengakui dan peduli benar-benar relevan. Hal ini mengandung arti dua hal: (1) Pancasila adalah dasar yang sah bagi penguatan toleransi, dan (2) toleransi antar sesama anak bangsa adalah salah satu faktor penjamin keberlangsungan hidup bersama yang plural dengan penuh solidaritas dan persaudaraan. Oleh karena itu, ketika kita sepakat bahwa Pancasila adalah dasar moral dan hukum bangsa Indonesia, dan toleransi adalah cerminan sikap gotong-royong yang diajarkan oleh Pancasila, maka menjadi toleran tidak saja menjadi watak, tetapi juga merupakan identitas bangsa Indonesia.

Tentu saja Pancasila bukanlah ajaran agama. Ia adalah kesepakatan sekaligus dasar moral dan hukum yang diperlukan sebagai jaminan perlindungan setiap anggota bangsa Indonesia yang mau mengikatkan diri ke dalam sebuah bangsa dan hidup bersama di negara ini. Lagipula, apapun bentuk hidup bersama pastilah memerlukan kesepakatan sebagai jaminan ikatan. Dalam arti itu, Pancasila adalah jaminan, dasar dan kesepakatan bersama. Ada lima sila yang memiliki nilai-nilai moral di dalamnya sebagai keutamaan kewargaan (civic virtues). Setia kepada Pancasila berarti setia kepada kesepakatan dan mau dipimpin oleh keluhurannya. Pancasila sama sekali tidak menggeser peran agama, justru ia menjamin kemerdekaan penganutnya untuk beribadah. Maka, Pancasila mesti ditempatkan sebagai kesepakatan bersama yang pokok dan mendasari hidup bersama bangsa Indonesia, termasuk dengan menerima gagasan toleransi dan inklusivitas yang disuarakan oleh Pancasila.

Bentuk konkret menerima Pancasila secara konsisten dan utuh, salah satunya dan yang paling mendesak saat ini, adalah dengan memeluk nilai-nilai toleransi sebagai identitas dan gaya hidup warga bangsa Indonesia. Dan saya menyakini bahwa identitas kewargaan Indonesia yang toleran dan inklusif sama sekali tidak berkontradiksi dengan kebijaksanaan agama. Bagaimana mungkin orang yang berbatin positif yang mau dengan ramah dan tulus menerima, mengakui, menghormati bahkan memberikan kasih kepedulian kepada teman atau tetangganya yang berbeda dengannya (misalkan berbeda agama) dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap ajaran agama? Bukankah agama adalah pegangan kita untuk menjadi manusia yang lebih berwajah welas kasih kepada siapa saja, termasuk mereka yang berbeda keyakinan dengan kita? Dengan demikian, di mana letak ketidaksesuaian toleransi dengan esensi agama sehingga mendasari orang untuk bersikap intoleran? Bukankah intoleransi justru adalah nilai yang jelas-jelas bertentangan dengan esensi kemanusiaan dan kerahiman dalam agama? Warga bangsa yang toleran sama sekali tidak merusak apalagi membatalkan identitasnya sebagai orang beragama. Justru sebaliknya, sikap toleran adalah watak yang memperkuat jati diri identitasnya sebagai orang beragama.

Oleh karena itu, kesediaan untuk bersikap toleran dan inklusif dari diri setiap bangsa Indonesia tidak saja merupakan tanda (identitas) secara politis dalam ruang lingkup kewargaan bangsa, tetapi juga secara religius. Keduanya bersinergi selaras membentuk watak perdamaian dalam diri individu dan bangsa Indonesia secara kolektif. Toleransi dan inklusivitas mengukir keselarasan identitas baik sebagai warga bangsa maupun warga agama. Maka, Pancasila dan toleransi secara logis tidak dapat dibuang dari bumi Nusantara sampai kapanpun. [***]

Referensi:
Galeotti, Anna Elisabeth. 2004. Toleration as Recognition. Cambridge: Cambridge University Press.