Sejak diperkenalkan oleh Joseph Schumpeter (1934), konsep keilmuan Creativepreneurship telah dikembangkan oleh para peneliti yang terbagi menjadi dua kelompok dengan dua cara pandang/mahzab/paradigma (School of Entrepreneurship Thought), yaitu: 1) Creative Entrepreneurship, dan 2) Entrepreneurship in Creative Industry, sebagaimana pembahasan berikut ini:

  1. CREATIVE ENTREPRENEURSHIP

Creative Entrepreneurship sebagai School of Entrepreneurship Thought telah dijadikan pedoman bagi berbagai universitas dan telah dikembangkan menjadi program studi hingga saat ini, misalnya oleh Swansea Metropolitan University, University of East Anglia, University of Latvia, University of London, dll. Serta telah dikembangkan sebagai mata kuliah dan kajian, misalnya di: Stanford University, Babson College, Freeman School of Business, dll. Sedangkan sebagai kajian riset telah banyak dikemukakan pada jurnal-jurnal index Scopus dan Thomson Reuters.

Creative Entrepreneurship telah dipopulerkan oleh Joseph Schumpeter sejak tahun 1934 seorang ekonom terkenal kelahiran Austria yang mengajar di Harvard University, dan dilanjutkan oleh Baumol (1968). Bahwa fenomena new economy telah mengubah hukum ilmu ekonomi normal umumnya (Reinert, 2006), Schumpeter menyebutkan tentang Economic Theory of ‘Creative Destruction’, yaitu pada dasarnya faktor creativity adalah bagian utama dari creative entrepreneur memainkan peran fundamental dalam merevitalisasi new ekonomi, breaking up established systems dan membuka pasar-pasar baru. Bilton (2010) menyebutkan bahwa efek disruptive dan atau perubahan ini mempengaruhi bisnis melalui creative destruction dalam memperbaharui established businesses dan melakukan rekonstruksi kembali. Teori ini kemudian diperkuat oleh neoclassical theory yang disebut The Profit Maximizer (Endogenous Growth Theory) oleh Romer (1986, 1990) menitik beratkan pada determinan knowledge-base firm yang menggerakan innovation sebagai peran sentral dalam entrepreneurship (Friis et al, 2006). Konsentrasi creative entrepreneur dapat berbeda antara typical business atau social entrepreneur dalam mengkreasikan dan mengeksploitasi modal intelektual (intellectual capital) atau disebut juga sebagai investor talenta (Caves, 2001).

Creative Entrepreneurship sebagai sintesa konsep creative entrepreneur pada visi pionernya Schumpeter merupakan gabungan dari 3 postulate yang berasal dari tiga proposisi (Lintunen, 2000), sebagai berikut:

Postulate 1:  Creative entrepreneur merupakan perwujudan inovasi pemimpin sukses.

Postulate 2:  Inovator sukses merepresentasikan self-governing entrepreneur.

Postulate 3:  Leadership pada self-governing entrepreneur adalah bukti keberhasilan proses inovasi.

Konsep inovasi Schumpeter menurut Oscarius (2016) dapat merupakan penekanan pada: munculnya gagasan produk baru, munculnya metode produksi baru, munculnya pasar baru, dan munculnya inovasi baru pada organisasi.

Creative Entrepreneurship sebagai Creativity-based Entrepreneurship bagi kelompok peneliti lainnya, yaitu kelanjutan dari teori Wallas (1926) tentang Model of Creative Thinking yang kemudian dilanjutkan oleh Lumpkin et al (2004) dengan Creativity-based Model of Entrepreneurial Opportunity Recognition, terdapat lima tahapan formasi peluang pada Creativity-based Entrepreneurship yaitu: preparation (unconscious awareness), incubation of ideas, insight (the moment of discovery), evaluation and elaboration (Sabrina, 2013). Creativity (kreativitas) adalah membangkitkan idea baru (novel), berguna, dan tepat (Duxbury, 2012), adapun secara state of art dari creativity tsb dapat didefinisikan berdasar 4 Ps, yaitu personality, product, process, press (Kolnhofer-Derecskei, 2016). Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian dari Fillis & Rentschler (2010) serta Schmidt et al (2013) bahwa creativity menjadi bagian dasar kritis pada pengalaman entrepreneurship sejak mengidentifikasikan masalah, kepemimpinan, dan mengembangkan produk. Selain itu karena sebagai jiwa/the soul of entrepreneurship (Morris & Kuratko, 2002) creativity penting sebagai inisiasi dan mempertahankan perusahaan dalam menghadapi lingkungan kompetitif yang kompleks (Dayan & Benedetto, 2013).

 

  1. ENTREPRENEURSHIP IN CREATIVE INDUSTRY

Creative-preneurship pada School of Entrepreneurship Thought lainnya telah banyak dipraktekan oleh beberapa universitas diantaranya: Berlin University pada program Creative Entrepreneurship of Creative

Businesses, UiT the Arctic University of Norway pada program Bachelor of Cultural & Creative Entrepreneurship, SBM ITB pada program MBA in Creative and Cultural Entrepreneurship, University of London pada program Goldsmiths Creative and Cultural Entrepreneurship, Trinity College Dublin pada program M.Phil. in Creative and Cultural Entrepreneurship, dll. Pada umumnya universitas-universitas ini lebih fokus lagi dalam mengeksplorasi kewirausahan pada konteks industri kreatif dan kultur budaya, menjadi program studi dan kajian pada berbagai strata pendidikan.

Creative-preneurship adalah pendapat kelompok kedua tentang Creative Entrepreneurship, yaitu sebagai praktek setting up a business secara mandiri pada industri kreatif (Bujor & Avasilcai, 2014), pendapat ini dikutip menjadi pendefinisian bebas dalam Wikipedia. Creative-preneurship mengacu pada aktivitas para entrepreneurs di bidang bisnis industri kreatif (Kellet, 2006). Berkembangnya kelompok kedua ini dipicu dengan adanya disrupsi pada industri, yaitu melalui perkembangan informasi internet, mobile era, musik, distribusi foto, dll (Jamison, 2012).

Creative-preneurship melakukan kajian dan simulasi praktis secara interrelasi antara “creativity”, “culture”, “arts”, “talents” terutama dalam keterkaitannya pada Creative and Cultural Entrepreneurship, Arts and Cultural Policy Administration, serta pada Social Entrepreneurship (Lauzikas & Mokšeckienė, 2013). Dengan demikian, cakupan Creative-preneurship apabila difokuskan pada ekonomi kreatif yang mencakup 14 subsektor, yaitu: Arsitektur; Desain; Fesyen; Film, Video, dan Fotografi; Kerajinan; Teknologi Informasi dan Piranti Lunak; Musik; Pasar Barang Seni; Penerbitan dan Percetakan; Periklanan; Permainan Interaktif; Riset dan Pengembangan; Seni Pertunjukan; dan Televisi dan Radio. Serat ditambah lagi dengan subsektor kuliner (Kemenparekraf, 2013).

 

State of the Art CREATIVEPRENEURSHIP as a Contribution to the Body of Entrepreneurship Knowledge and Theory Building  

Creativepreneurship dengan demikian telah berkembang menjadi spirit/roh bagi ilmu kewirausahaan serta memberikan sumbangsih contribution to the body of entrepreneurship dan mengembangkan keilmuan teori kewirausahaan pada umumnya. Sebagaimana diketahui bahwa entrepreneurship telah menjadi suatu cabang ilmu terapan, misalnya di Indonesia telah disahkan pada tahun 2015 oleh Dirjen Dikti, KemenRistekDikti tahun 2015, yaitu kode nomenklatur 6160307 Kewirausahaan. Adapun state of the art dari entrepreneurship dibagi menjadi 5 paham (David & Christina, 2015), yaitu:

  1. Frech School, yaitu: Richard Cantilon (1680-1734), Niccolas Baudeau (1730-1792), Anne Robert Jacques Turgot (1727-1781), dan Jean Baptiste Say (1767-1832).
  2. German School, yaitu: Johann Heinrich von Thunen (1785-1850), Mangoldt (1824-1858), Wilhelm Roscher (1817-1894), Bruno Hildebrand (1812-1878), dan Karl Knies (1821-1898).
  3. Austrian School, yaitu: Carl Menger (1840-1921), Leon Walras (1834-1910), dan Ludwig von Mises (1881-1872).
  4. American School, yaitu: Amasa Walker (1799-1875), Francis A. Walker (1840-1897), John Bates Clark (1847-1938), F.B. Hawley (1843-1929), dan Frank Hyneman Knight (1885-1972).
  5. England School, yaitu: Adam Smith (1723-1790), Jeremy Bentham (1748-1832), dan Alfred Marshal (1842-1924).

Secara detail pembahasan ilmu entrepreneurship tidak dibahas mendalam di artikel ini. Sedangkan Konsep kreatifitas pada creativepreneurship awalnya dipengaruhi oleh Plato (427 BC – 347 BC) bahwa kreatifitas sebagai alat untuk mengembangkan inovasi, Aristoteles (384 BC – 322 BC) proses kreasi menekankan pada tingkat keahlian, kecermatan dan ketelitian. Dengan demikian, creativity dalam entreprepreneurship menghasilkan tujuh perspektif creation (Morris, 1998), yaitu: creation of wealth, creation of enterprise, creation of innovation, creation of change, creation of employment, creation of value, creation of growth.