Sikap hidup yang inklusif, moderat, toleran dan bergotong-royong sebagai ciri khas kepribadian bangsa sungguh-sungguh sesuai dengan marwah bumi Nusantara yang beragam. Bersumber kepada Pancasila, pengertian seperti itu tidak ditemukan dalam ideologi radikal agama yang menawarkan tata hukum negara berbasis kepada hukum agama yang berlaku bagi seluruh warga bangsa dengan mengabaikan segala perbedaan identitas dalam dirinya. Sistem sosial baru yang ditawarkan kalangan radikal agama yang bersumber kepada hukum agama diyakini lebih mampu menghantarkan masyarakat Indonesia kepada kondisi yang lebih sejahtera karena dijamin oleh hukum agama (hukum Tuhan) yang tidak mungkin salah bagi umat manusia. Dan oleh karena itu, sistem ini sah diberlakukan bagi segala kalangan masyarakat dengan mengabaikan seluruh keberagaman latar belakang suku bangsa, agama dan budaya. Dengan kata lain, radikalisme agama sejatinya adalah gerakan ideologi. Sebuah ideologi alternatif yang hendak menggeser Pancasila karena diyakini mampu memberikan tatanan sosial yang lebih baik, dan untuk itu semua, keberagaman mesti diseragamkan.

Tentu saja ini adalah sebuah tantangan nyata bagi ideologi Pancasila yang sudah disepakati bersama sebagai visi dasar bangsa Indonesia. Menilik hasil survey Alvara bulan September-Oktober 2017 kepada 1200 responden dari kalangan profesional, mahasiswa dan pelajar, meski terdapat 83.2% responden mahasiswa yang menerima Pancasila sebagai ideologi negara, ada sejumlah 16.7% responden mahasiswa yang menyetujui ideologi radikalisme agama sebagai pandangan dasar negara ini, dan angka ini memperlihatkan pola tren peningkatan jumlah responden. Pandangan radikalisme agama justru telah memperoleh penerimaan dari kalangan mahasiwa. Hal ini memperlihatkan persepsi di kalangan mahasiswa bahwa Pancasila bukan lagi ideologi yang pantas untuk dipertahankan. Dengan gerakan yang semakin intensif terutama di lini pendidikan, bukan tidak mungkin banyak kaum terdidik dan kaum muda negeri ini semakin berorientasi meninggalkan Pancasila. Ketahanan Pancasila sebagai jiwa dasar ideologi luhur bangsa, dengan demikian, berpotensi nyata semakin luruh.

Apa yang mesti dilakukan? Pendidikan Pancasila baik secara formal maupun informal mesti kembali diperkuat. Mendukung setiap langkah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam memperkuat nilai-nilai Pancasila pada hidup masyarakat Indonesia dengan memberdayakan pelbagai komunitas masyarakat terutama komunitas kaum muda untuk menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila dengan cara-cara kreatif dan kekinian—sebuah cara yang sama sekali berbeda dengan pendekatan indoktriner di era Orde Baru. A.S Hikam pun berpendapat Pancasila juga mesti menjadi tema pembicaraan yang perlu diteguhkan kedudukan dan fungsinya di ruang-ruang diskusi keagamaan. Itu semua agar Pancasila sebagai visi bangsa Indonesia terus menyala kuat menyinari perjalanan bangsa ini. Namun, pelbagai upaya itu hanya akan sia-sia jika seluruh lembaga negara sebagai tokoh pelaksana amanat rakyat dari pelbagai tingkat tidak turut serta mengamalkan jiwa Pancasila dalam setiap kebijakan yang dirumuskannya. [***]

 

Referensi:

Ali, Hasanudin & Lilik Purwandi, Radicalism Rising Among Educated People?, Jakarta: Alvara Research Institute, Juni 2018.

Hikam, Muhammad A.S., “Deradikalisasi Peran Masyarakat Sipil Membendung Radikalisme”, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016.