Dalam dua tahun terakhir ini, pemberitaan media massa nasional cukup intensif menyoroti geliat gerakan radikalisme agama yang sudah merangsek ke dunia pendidikan mulai dari lini pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Artikel berjudul “Melindungi Kampus” tulisan Prof. Azyumardi Azra, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, secara lugas memperlihatkan bahwa nilai-nilai radikalisme agama telah berkembang di dalam tubuh kampus-kampus negeri nasional, dan fakta ini tidak dapat diremehkan. Majalah Tempo awal Juni lalu pun secara khusus juga merilis liputan investigatif “Paham Radikal di Kampus Kita” yang secara menyeluruh menyampaikan kesimpulan serupa adanya kondisi darurat radikalisme agama di dalam kampus-kampus kita. Lantas apa sebenarnya radikalisme agama itu? Apa yang sedang diperjuangkannya sehingga kita pantas mewaspadai dan melakukan langkah konkret menghadapinya?

Radikalisme agama yang sedang memperlihatkan perkembangannya yang semakin masif di Indonesia, menurut Muhammad A.S Hikam dalam bukunya Deradikalisasi menerangkan bahwa gerakan ini secara umum bersumber kepada aliran Wahabisme yang menekankan kemurnian hidup agama sesuai dengan hukum agama; dalam skala global paham ini mendasari gerakan NIIS dan Al Qaeda (A.S Hikam, 2018: 1). Dalam identifikasinya, Prof. Azra juga menyebutkan unsur tersebut seraya menambahkan beberapa unsur lainnya sebagai ciri khas gerakan ini, yaitu menolak Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI; mempraktikan sikap takfiri yang mengafirkan rekan-rekan seagama yang berbeda pandangan; dan terakhir menolak toleransi dan kerja sama dengan penganut agama lain. Secara menyeluruh radikalisme agama adalah gerak keagamaan berbasis kepada tafsiran literal hukum agama demi pemahaman dan praksis keagamaan yang lurus dan murni, dan karena itu menolak Pancasila dan toleransi.

Sebagaimana diungkapkan cendikiawan Muslim Masdar Hilmy, agenda utama pergerakan ini adalah mengganti Pancasila ideologi bangsa dengan ideologi yang bersumber kepada hukum agama (shari’ah). Menolak Pancasila yang menjamin keberagaman identitas sebagai kenyataan khas bumi Nusantara, kelompok ini memegang kuat-kuat kemutlakan kesamaan identitas agama beserta penafsirannya, daripada keberagaman yang bermuara kepada penyangkalan sikap toleran. Hasil penelitian Pusat Penelitian Alvara di bulan September-Oktober 2017 lalu yang dibukukan dengan judul Radicalism Rising Among Educated People?, dalam pengantarnya mengemukakan bahwa radikalisme agama yang berkembang secara global, terutama di Timur Tengah bahkan di Indonesia adalah pandangan yang sempit keagamaan yang pada akhirnya mengajarkan intoleransi dan kekerasan berbasis pada fanatisme agama.

Watak dasar radikalisme agama demikian sungguh bertolak belakang dengan Pancasila. Sebagai pondasi dan jiwa yang mendasari bangunan bangsa dan negeri ini, kehadiran Pancasila pertama-tama justru melindungi dan menjamin keberagaman identitas primordial masyarakat bangsa Indonesia. Dalam arti itu, Pancasila menuntun bangsa ini untuk bersikap inklusif, moderat dalam menampilkan identitas kesukuan dan keagamaan kita, toleran dan gotong royong sebagai kepribadian khas bangsa Indonesia yang takdirnya adalah majemuk. Oleh Pancasila, keberagaman tidak dibungkan dan disamakan, melainkan dibiarkan hidup berkembang. Hal itu terlihat nyata pada kebijakan negara yang menjamin hak beragama dan beribadah setiap warganya sesuai dengan nilai agama dan kepercayaannya masing-masing. Dan apapun latar belakang primordial warga bangsa ini, setiap orang memiliki kesetaraan di hak dan kewajiban dihadapan hukum negara.

 

Referensi:

Ali, Hasanudin & Lilik Purwandi, Radicalism Rising Among Educated People?, Jakarta: Alvara Research Institute, Juni 2018.

Hikam, Muhammad A.S., “Deradikalisasi Peran Masyarakat Sipil Membendung Radikalisme”, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016.

Artikel dari Media Cetak:

  • Harian Kompas, Kamis 14 Juni 2018, hlm. 1 & 15, “Melindungi Kampus”.
  • Majalah Tempo, edisi 28 Mei-3 Juni 2018, hlm. 23 & hlm 36-48, “Paham Radikal di Kampus Kita”.