Oleh: Frederik Gasa, S.IP., M.Si.

Era digital – era media sosial – membawa perubahan yang signifikan terhadap kehidupan manusia. Salah satu perubahan yang dirasakan adalah bagaimana mengonsumsi sebuah berita atau informasi. Printed media tidak lagi berada di puncak preferensi masyarakat dalam mencari dan mengetahui berita dan informasi. Pilihan utama adalah pada media online, khususnya media sosial sebagai platform informasi masyarakat modern. Orang akan lebih memilih membaca berita yang ‘lewat’ pada newsfeed atau timeline media sosialnya dibandingkan harus menyediakan waktu khusus untuk duduk dan membaca koran atau majalah. Pertimbangannya sederhana: efektif dan efisien.

Berangkat dari perubahan ini, banyak perusahaan media nasional, maupun internasional berbenah diri, tidak hanya menyajikan berita dan informasi dalam versi cetak tetapi juga versi digital (online). Membaca peluang ini, banyak pihak yang mencoba peruntungan dalam dunia jurnalistik digital. Membuat web berita dan menyebarluaskannya secara bebas ke dalam arus dunia digital dengan harapan agar dibaca dan pada akhirnya web nya akan dikunjungi penikmat berita online dan memperoleh sedikit keuntungan. Tentunya, pembuatan dan penyeberluasan berita dan informasi ini jauh dari prinsip dank ode etik jurnalistik yang berlaku. Semua orang adalah creator dan distributor berita. Orang tidak lagi hanya menjadi konsumen sebuah berita atau informasi yang disajikan oleh mereka yang mempelajari dan menekuni dunia jurnalistik.

Pergeseran peran, dari hanya sekadar penikmat ke pencipta berita dan informasi berdampak buruk terhadap sajian informasi yang ada dalam dunia digital. Berita dan informasi yang ada semakin banyak dan menyulitkan pembaca dalam menyaring berita dan informasi mana yang benar dan bisa dipercaya. Jika di era jayanya koran dan majalah, berita dan informasi yang disajikan sangat terpusat oleh perusahaan-perusahaan media kenamaan dan bereputasi, sehingga level kebeneran isi berita sangat tinggi. Namun berbeda saat ini, menjamurnya media online yang abal-abal saat ini membuat kita harus dengan teliti dan hati-hati menyaring berita dan informasi yang disajikan. Disamping itu, ada semacam perubahan mindset orang dalam menilai level kebenaran berita atau informasi. Semakin banyak orang yang menyukai (like atau love) dan viral, maka berita dan informasi tersebut dianggap benar.

Anggapan yang ‘keliru’ tentang kebenaran isi berita atau informasi inilah yang dihadapi oleh Gen-Z saat ini. Pendidikan literasi media di Indonesia tidak diterapkan sejak dini dan kedepannya menjadi masalah yang serius. Orang larut dalam dangkalnya kebenaran isi berita dan informasi dan cenderung menikmati hoax. Benar bukan lagi diukur dari sejauh mana berita atau informasi bisa terverifikasi dan terbukti benar-benar “benar”. Logika yang digunakan adalah logika sederhana – sesedarhana pertimbangan efektif dan efisien- yakni banyak tidaknya orang menyukai berita atau informasi tersebut. Buruknya, media-media besar yang ada juga kerap menyajikan berita dan informasi yang kebenarannya diragukan hanya dengan pertimbangan telah menjadi viral di dunia maya dan ramai diperbincangkan oleh khalayak. Sebagai konsumen, sekaligus pembuat berita, sudah seharusnya bijak sebelum menyebarluaskannya. Sekali saja berita atau informasi tersebut dimuat dalam media online (media sosial) maka seterusnya ia akan menjadi bebas dan sulit untuk dibatasi, ia akan menjadi milik khalayak. Gerakan mencegah hoax berawal dari diri kita sendiri dengan tidak menyebarkan berita dan informasi yang salah.