Tepat 139 tahun lalu, Raden Ajeng Kartini lahir. Ia adalah salah satu pahlawan perempuan nasional yang memiliki warisan keteladanan besar untuk negeri ini. Keteladanan itu terwujud di dalam pemikiran-pemikirannya yang tajam, cerdas dan berani menyuarakan kritik. Kartini mengritik keras situasi zaman masyarakat di dalamnya ia hidup yang hanya melahirkan penderitaan bagi kaum perempuan. Kartini memprotes keras feodalisme kolot adat Jawa yang baginya menghasilkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang mesti ditanggung perempuan. Dalam hal kesempatan memperoleh pendidikan, misalnya, ada diskriminasi antara kaum perempuan dan laki-laki. Kartini menempuh pendidikan formal hanya sampai setingkat SD. Padahal kakak laki-lakinya RM Sosrokartono dapat bersekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi di Belanda. Beban adat yang dipikul Kartini tidak itu saja. Usia 12 tahun, sesuai dengan adat Jawa yang mengatur perempuan akhil balik harus dipingit (hanya untuk perempuan), Kartini mulai menjalani masa pingitan di rumah selama empat tahun!

Dalam situasi masyarakat yang tunduk pada aturan adat yang sangat membatasi ruang gerak hak-hak perempuan, lalu bagaimana pemikiran kritis Kartini dapat terbentuk? Dari mana Kartini memperoleh pengetahuan yang merangsang daya protesnya terhadap praktek zaman yang menurutnya ga beres itu? Kakek Kartini bupati Demak Pangeran Ario Tjondronegoro adalah orang yang mengizinkan pendidikan Eropa dijalani di dalam keluarganya dan diteruskan oleh anak-anaknya. Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, ayah Kartini sekaligus bupati Jepara, juga melanjutkan tradisi pendidikan Eropa di dalam keluarganya, kendati di satu sisi, sebagai ketaatannya kepada adat, Sosroningrat tetap memberlakukan adat yang diskriminatif dan membelenggu di dalam keluarganya. Atas tradisi pendidikan Eropa yang dilanjutkan di dalam keluarga besarnya, Kartini dapat mengenyam pendidikan sekolah dasar Belanda dan berkesempatan membaca banyak jurnal dan majalah berbahasa Belanda. Bacaan-bacaan itu dilahap Kartini untuk menemani masa keterasingannya di dalam pingitan.

Dari pendidikan Eropa itulah, Kartini memperoleh banyak pengetahuan yang membentuknya menjadi pribadi modern, yaitu sosok yang menyukai ide-ide kemajuan dan bersikap kritis. Modernitas Kartini terpancar dari surat-surat yang mulai ditulisnya setelah bebas dari masa pingitan. Surat-surat yang ditujukan kepada para sahabatnya orang-orang Belanda itulah, Kartini menuangkan segala kritik dan keluh kesahnya yang dengan tegas mencerminkan kemajuan cara berpikirnya. Salah satu ide kritis yang konsisten disuarakan Kartini adalah gagasan kesetaraan untuk kaum perempuan. Kartini menuntut perubahan radikal cara pandang adat yang tidak adil dan membatasi potensi perempuan. Jika kaum laki-laki berkesempatan luas menempuh pendidikan setinggi-tingginya, kaum perempuan juga memiliki hak yang sama. Kaum perempuan dan laki-laki memiliki porsi hak yang sama dalam pelbagai dimensi hidup semata-mata karena eksistensinya sebagai manusia.

Melalui perjuangan kesetaraan, Kartini bercita-cita melihat kaum perempuan berdaya tinggi untuk berkiprah maju melampaui batas-batas wilayah kehidupan domestik. Dan bagi Kartini, kesetaraan hak terutama kepada adanya kesempatan kaum perempuan untuk berpendidikan, adalah syarat mutlak terwujudnya buah-buah kemajuan kaum perempuan. Gagasan kesetaraan yang diperjuangkan Kartini sesungguhnya bersifat universal. Artinya, setiap manusia di seluruh dunia adalah pribadi yang bebas, dan karena kebebasannya setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan berkedudukan setara. Oleh karena itu, terwujudnya kesetaraan yang diperjuangkan Kartini hingga akhir hayatnya sama halnya dengan mengusahakan perlindungan ruang kebebasan kaum perempuan.

Sifat universal ide kesetaraan mengemuka tidak saja dalam tuntutan perubahan yang diinginkan Kartini bagi kaum perempuan, tetapi juga relevan dalam konsepsi kewarganegaraan. Konsep warga negara (citizen) mengalami perkembangan melintasi aneka macam zaman. Filosof Yunani kuno Aristoteles pada mulanya menganggap mereka yang sahih disebut warga negara hanyalah para laki-laki dewasa. Mereka memiliki kewenangan untuk bermusyawarah dan mengambil keputusan sebagai kebijakan yang berlaku dalam hidup bermasyarakat. Kaum perempuan, anak-anak, para budak dan imigran bagi Aristoteles pada zaman Yunani kuno itu sama sekali bukan warga negara. Namun, dalam perspektif sejarah pemikiran modern, apa yang dipikirkan oleh Aristoteles, tentu diskriminatif.

Muncul gagasan warga negara yang baru dan berbeda. Andrew Heywood, pemikir ilmu politik asal Inggris memahami warga negara tidak lagi dalam batasan gender sebagaimana dalam pemikiran Aristoteles. Sebaliknya warga negara bagi Heywood adalah pengakuan setiap manusia oleh negara di dalam ia hidup dan memiliki relasi dinamis dengannya karena jaminan dan perlindungan hak-kewajiban setiap warga oleh negara. Itu artinya, dalam konsep warga negara pun, dimensi kesetaraan juga terlibat di dalamnya sebagai dasar tercapainya tujuan pokok dalam bernegara, yaitu jaminan dan perlindungan terhadap (1) kebebasan dalam diri setiap warga negara karena kedudukannya sebagai manusia, serta (2) kesetaraan hak dan kewajiban antar sesama warga negara tanpa pembedaan dari segi jaring-jaring identitas primordial maupun gendernya. Pengertian warga negara yang meluruhkan batas-batas pembedaan gender dan identitas primordial sebenarnya produk pemikiran filsafat politik-negara modern.

Dalam kisah Kartini, kesetaraan diperjuangkan untuk menegaskan kedudukan perempuan yang sama bebasnya dengan laki-laki. Kesetaraan jugalah yang menentukan pengertian konsep warga negara di mana kebebasan serta hak dan kewajibannya terjamin oleh negara. Warga negara dalam hukum Indonesia berdasar kepada UUD 1945 pasal 26 ayat 1-3, yang di dalamnya negara sama sekali tidak membatasi kategori warga negara berdasarkan sekat-sekat gender atau identitas SARA. Hal ini terlihat dalam ayat 1 bahwa “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Dan konstitusi Indonesia mengakui dan melindungi kesetaraan hak dan kewajiban setiap warga.

Dalam kerangka kenegaraan modern, kesetaraan adalah ide dasar cemerlang yang menjamin kebebasan setiap pribadi. Dan bersyukur negara kita pun menganut asas kesetaraan demikian yang menjamin kesetaraan setiap orang sebagai warga negara. [***]

Referensi:

Seri Buku Tempo, “Gelap-Terang Hidup Kartini Perempuan-Perempuan Perkasa’, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013.