Oleh: Meliana Octavia

 

Beberapa waktu yang lalu, di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia ditayangkan kisah tentang Titik Winarti, seorang pengusaha konveksi di Surabaya, Jawa Timur. Usaha ini dirintisnya sejak tahun 1994 untuk mendapatkan penghasilan seusai menikah. Jika dilihat sekilas bengkel tempat usaha konveksinya terlihat sama dengan bengkel usaha konveksi lainnya. Namun jika diamati secara lebih teliti sesungguhnya para pekerja di bengkel tersebut adalah para difabel yang menderita tuna daksa dan tuna rungu.

 

Titik Winarti mengatakan bahwa para difabel tersebut sudah susah seumur hidupnya, lalu mengapa kita harus takut dengan susah itu sendiri, yang pasti akan kita lewati. Dan dalam konsep bisnis, sebetulnya pertanggungjawaban pada saat kita terjatuh itu sebenarnya adalah pembelajaran untuk kedepannya, untuk peningkatannya, lalu mengapa kita harus takut untuk terjatuh, jika nantinya kita dapat menjadi lebih baik lagi.

 

Di awal Titik Winarti mendirikan usahanya di tahun 1994, ia tidak memiliki banyak modal. Pada saat itu yang dilakukannya hanyalah mengubah barang bekas menjadi sesuatu yang lebih menarik dan bernilai jual. Dari awal yang sederhana tersebut, usahanya kian berkembang, dan timbullah keinginan dalam dirinya untuk berbagi. Maka Titik mulai menerima para pegawai penyandang difabel.

 

Tahun yang menjadi titik balik, adalah ketika banyak pegawainya pulang kampung dan tidak kembali. Justru pada saat itulah para pegawai difabel yang ternyata dapat diandalkan. Titik bercerita, bahwa justru pada saat terpuruk karena tidak ada tenaga profesional yang menemaninya, pada saat itulah akhirnya justru para pegawai difabel yang selalu menyemangati Titik. “Bu, jangan tutup karena banyak teman-teman saya yang butuh tempat seperti ini.”, ujar salah seorang pegawai difabelnya pada waktu itu. Didasari oleh semangat kasih tersebut maka Ia bertekad untuk tetap melanjutkan usahanya.

 

Kini Titik telah membimbing 600an penyandang difabel, dan puluhan diantaranya masih bekerja di bengkel konveksi milik Titik. Para pegawai tersebut berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Para pegawai diberikan pelatihan menjahit, menyulam, dan berbagai keterampilan kerja lainnya secara gratis. Titik juga menyediakan asrama bagi mereka. Titik berharap para penyandang difabel ini bisa hidup mandiri. Ia ingin memberikan kesempatan yang benar bagi mereka melalui usaha konveksi yang dirintisnya ini. Omsetnya saat ini puluhan juta rupiah per bulan. Namun bagi Titik omset bukanlah yang utama. Bukan seberapa besar yang kita hasilkan, tapi seberapa besar manfaat diri kita untuk orang lain.

 

Kisah Titik Winarti di atas, adalah salah satu contoh dari usaha bisnis yang berlandaskan kasih. Kita bekerja, kita berbisnis, namun sangatlah berharga, sangatlah indah, apabila bisnis tersebut tidak hanya money oriented, namun dapat berguna dan bermanfaat bagi bangsa dan negara, terlebih bagi mereka yang mengalami kekurangan-kekurangan secara fisiknya, mereka yang kurang beruntung, mereka yang terpinggirkan dan terlupakan, mereka yang tersingkirkan karena berbagai keterbatasan. Marilah kita berbisnis dalam kasih. Bukan seberapa besar keuntungan yang kita dapat di dunia ini, namun seberapa besar kerja dan usaha kita berharga di mata Tuhan.