Oleh: Nur Kholis S.S., M.I.Kom.

 

Pada tanggal 27-28 Maret 2018 lalu, Saya mengikuti JNK (Jambore Nasional Komunikasi) di Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Indonesia. Jambore yang sudah diadakan kedua kalinya ini diselenggarakan oleh ASPIKOM, Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi Korwil Jabodetabek. JNK adalah pertemuan para akademisi yang mewadahi dosen dan mahasiswa Ilmu Komunikasi untuk saling bertukar informasi dan pikiran melalui forum diskusi dan kompetisi. Forum diskusi diselenggarakan melalui call for paper dan seminar nasional bertema “Optimalisasi Sinergi Prodi Ilmu Komunikasi Dengan Industri Era Digital” sementara forum kompetisi yang rata-rata diperuntukkan bagi mahasiswa dirupakan dengan lomba pembuatan iklan layanan masyarakat, news presenter, fotoografi dll. Membanggakan, Jambore nasional yang diketuai oleh Ibu Amel dari Vocational Education Program Universitas Indonesia ini sukses digelar, terbukti dengan antusiasme para akademisi se-Indonesia yang turut serta dalam call for paper dan beragam kompetisi yang diselenggarakan.

Dari berbagai macam hal menarik yang ada di JNK 2018, perhatian saya tertuju pada materi yang disampaikan oleh perwakilan Direktorat Pembelajaran Kementrian Ristekdikti Republik Indonesia, Ibu Dr. Ir. Paristianti Nurwardani. Pemaparan beliau tentang Sinergi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi dan Industri berhasil “mengusik” pemahaman peran sosial saya sebagai seorang dosen dan warga negara Indonesia. Betapa tidak? Beliau mengemukakan fakta mencengangkan tentang dua hal, yaitu: era 5.0 yang akan segera tiba dan kritik dari World Bank tentang kompetensi dari sumber daya manusia Indonesia. Saya yakin, Anda-pun juga akan “terusik” dengan fakta tersebut. Sudah siap?

Fakta pertama adalah, di tahun 2030 Indonesia diprediksi akan masuk dalam 7 besar “kekuatan baru” dunia. Hal ini membuat Indonesia harus melakukan persiapan ekstra, termasuk dalam hal menyambut era 5.0, masa di mana otomatisasi robot dan nuklir akan mendominasi dan menggantikan era digital saat ini. Era 5.0 akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja manual sebanyak 65% karena digantikan oleh robot. Lalu, bagaimana nasib tenaga kerja manual tersebut? Bisa ditebak, mereka akan tergerus laju kecanggihan teknologi dan bisa jadi tidak akan kebagian “rejeki”. Bersiap dan bersiap. Ya, inilah yang harus dilakukan oleh warga negara Indonesia saat ini. Kita tidak perlu bingung untuk memulai persiapan tersebut dari mana. Fakta kedua yang akan saya paparkan berikutnya bisa dijadikan sebagai batu pijakan untuk melakukan persiapan besar tersebut.

Fakta kedua yang saya dapatkan dari pemaparan Dr. Paris saat seminar JNK 2018 adalah adanya kritik World Bank tentang minimnya kompetensi warga Indonesia di 4 sektor strategis, yaitu: leadership, English, IT literacy dan writing skill. Sumber daya manusia Indonesia dianggap kurang mempunyai kompetensi yang cukup dalam sektor kepemimpinan, penguasaan Bahasa Inggris, penggunaan teknologi dan kemampuan menulis. 4 kompetensi tersebutlah yang selayaknya dikejar oleh warga Indonesia agar siap hidup di era 5.0. Sebagai dosen dan warga Indonesia tentu saya “terusik” karena 2 fakta tersebut. Pertama, saya “terusik” karena saya sadar betul bahwa kompetensi saya di 4 sektor tersebut sangat butuh ditingkatkan. Kedua, saya “terusik” karena juga mempunyai tanggung jawab yang besar untuk membantu mahasiswa agar menguasai kompetensi serupa. Lalu, mungkinkah saya menjalankan dua peran tersebut secara bersamaan?. Saya memilih untuk “bisa”. Konsep “teamwork” akan menjadi solusi bagi saya dan mahasiswa. Teamwork akan memposisikan kami untuk duduk sama rendah, berdiri sama tinggi sehingga akan tumbuh budaya saling mengisi tanpa melihat posisi. Mari berbenah diri dan menyatukan visi untuk membuktikan kedigdayaan Indonesia di kancah dunia. Jadi, apa Anda sudah siap untuk Era 5.0?.