Oleh: Frederik Gasa, S.IP., M.Si.

Pada 14 Februari 2018 yang lalu, Hellen Katherina, Executive Director, Head of Media Business, Nielsen Indonesia menyampaikan hasil kajian Nielsen terkait konsumsi media masyarakat Indonesia. Konsumsi media digital dan konvensional saling melengkapi. Tiap generasi pun berbeda dalam hal intensitas konsumsi media tersebut. Generasi Z (10-19 tahun), sebanyak 97 persen menonton televisi, 50 persen mengakses internet, 33 persen mendengarkan radio, 7 persen menonton televisi berbayar dan 4 persen membaca media cetak. Generasi milenial (20-34 tahun), 96 persen menonton televisi dan 58 persen mengakses internet. Generasi X (35-39 tahun), sebanyak 97 persen menonton televisi, 37 persen mendengarkan radio dan 33 persen mengakses internet. Sementara untuk Generasi Baby Boomers (50-64 tahun), sebanyak 95 persen menonton televisi, 32 persen mendengarkan radio dan 9 persen mengakses internet (Kompas.com, 15/2/2018).

Dari data yang dikeluarkan Nielsen tersebut, televisi masih menjadi media favorit masyarakat Indonesia. Persoalan yang muncul kemudian adalah pada tayangan televisi, apakah sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yakni “Mencerdaskan kehidupan bangsa…”atau justru semakin jauh dari tujuan tersebut. Masyarakat yang menonton televisi lebih cenderung terpapar tayangan-tayangan drama atau sinetron yang berseri-seri, yang cenderung kurang lebih memiliki alur cerita yang sama; tentang romantisme hubungan asmara anak muda yang dipenuhi “bumbu-bumbu” konflik khas Indonesia, namun kurang edukatif.

Data daily audience share pada Minggu, 17 Juni 2018 menunjukan Trans TV berada di posisi 1 dengan raihan 16,0 persen disusul SCTV pada posisi 2 dengan raihan 15,8 persen dan RCTI di urutan 3 dengan raihan 13,1 persen (Tabloidbintang.com, 19/6/2018). Jika dicermati, Trans TV berada pada urutan 1 karena menayangkan pagelaran Piala Dunia 2018 dan hal ini mendongkrak posisi TV swasta tersebut dari sebelumnya hanya berada di posisi 8 denga raihan 5,4 persen. Jika sebelumnya, SCTV Berjaya pada urutan teratas perolehan rating karena menyuguhkan tayangan sinetron dan FTV. Belum lagi acara televisi yang berbau horror mampu menghipnotis masyarakat dan menjadi acara favorit di Indonesia.

Paling tidak ada dua cara pandang yang berbeda dalam menyikapi fenomena ini. Mereka yang optimis memandang bahwa sinetron mampu mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia dan mampu bersaing dengan drama-drama luar seperti DraKor (Drama Korea) dan Bollywood (dari India). Sementara di kubu yang berlawanan, pandangan skeptis cenderung menilai ini sebagai kemunduran dunia pertelevisian yang sudah seharusnya mencerdaskan masyarakat tetapi justru menyajikan dan mengangkat cerita atau drama sebagai komoditas utamanya. Urusan rating menjadi concern semua stasiun televisi kita, namun menjadi penonton yang cerdas adalah concern kita sebagai masyarakat yang terpapar tayangan-tayangan televisi.