Menurut kamus Merriam-Webster, kata kitsch berasal dari  kosa kata bahasa Jerman verkitschen  yang artinya to make cheap. Kata kitsch sendiri mulai digunakan pada tahun 1925, namun sumber-sumber lain seperti Wikipedia menyebutkan, kata itu telah muncul dan digunakan pada akhir abad ke-19 untuk menggambarkan lukisan-lukisan ‘murahan’ yang dijajakan di pasar-pasar kota Munich dan sangat digemari oleh para OKB (orang kaya baru). Kitsch menjadi sebuah jalan keluar bagi mereka yang ingin memiliki sesuatu yang tidak bisa dimiliki secara langsung oleh mereka. Karena asal-usul itulah, maka kata ‘kitsch’ kemudian berkonotasi sebagai sesuatu yang secara moral berada di wilayah abu-abu atau suatu tiruan atau pantomim estetis yang biasanya dikaitkan dengan upaya untuk menunjukkan status sosial seseorang.

Kitsch sebagai suatu fenomena menjadi menarik ketika para teoretikus seperti Theodor W. Adorno mengangkatnya menjadi sebuah diskursus dan mengemukakan argumen yang secara implisit menganggapnya sebagai sebuah kesadaran palsu (false consciousness) yang dimaknai sebagai kesadaran yang lahir akibat dari struktur kapitalisme yang membuat masyarakat tidak dapat mengenali dengan gamblang apa yang dibutuhkan dan diinginkannya. Menurut Tomas Kulka kitsch adalah benda yang dapat langsung diidentifikasikan dalam menggambar sebuah objek atau tema yang dianggap indah atau penuh dengan emosi. Menurutnya, kitsch tidak memperkaya pengalaman kita akan benda yang digambarkan, tetapi hanya mengingatkan pengamat akan suatu karya seni yang hebat atau emosi yang mendalam. Kitsch dianggap sebagai bentuk palsu dari seni yang secara gambling meminjam esensi dari benda lain dan berusaha untuk mendapatkan pengalaman yang serupa dengan pengalaman yang didapatkan dari benda lain itu (Kulka, 1996).

Jika dikaitkan dengan konteks masa kini, sudah banyak anggapan yang memandang kitsch sebagai fenomena yang tidak semata- mata buruk. Kitsch dipandang sebagai sebuah hiperrealitas, ketika pengalaman yang dihadirkan kitsch menjadi pelarian dari kehidupan sehari-hari (Oliver, 2003). Penulis beranggapan bahwa kitsch sama halnya sebuah pil ekstasi yang dapat memberikan kesenangan tertentu karena dia menghadirkan ilusi – ilusi dari pengalaman berinteraksi dengan kitsch. Kitsch yang awalnya merupakan sebuah fenomena dalam bidang seni secara tidak langsung dapat berkaitan dengan ruang ketika benda kitsch tersebut dipakai dalam sebuah ruangan.

Kitsch menjadi hal yang berkaitan dengan budaya konsumerisme saat ini. Budaya konsumerisme muncul akibat revolusi industri yang kemudian memungkinkan kita untuk memproduksi barang – barang konsumsi secara massal dan terus menerus, sehingga pelan – pelan mengurangi nilai ekslusivitas sebuah benda. Hal ini juga menyebabkan timbulnya variasi pengguna objek kitsch yang awalnya hanya berasal dari kalangan menengah ke bawah menjadi merata pada seluruh lapisan masyarakat. Penulis berpendapat bahwa variasi kitsch ini sedikit mengaburkan batas antara kalangan elit dan menengah ke bawah, karena klasifikasi penggunanya tidak lagi didasarkan pada nilai dan cita rasa namun hanya sebatas seberapa mudah mereka mengenali objek yang direpresentasikan oleh kitsch. Dengan budaya konsumeris ini, produsen seakan – akan terus berlomba menjejali masyarakat dengan produk – produk massal yang instan mengesampingkan orisinalitas. Hal ini terjadi pula di restoran tematik seperti Paris Villages ini, budaya konsumerisme juga memunculkan kesenangan emosional dari aktivitas konsumsi, termasuk lokasi kegiatan konsumsi yang dapat membangkitkan kenikmatan estetika melalui stimulasi fisik secara langsung (Featherstone, 2007). Hal ini sejalan dengan fakta yang terjadi saat ini bahwa produsen atau pengusaha dibidang kuliner saat ini tidak hanya menjual makanan tapi juga menjual pengalaman ketika mengkonsumsi produk mereka. Pengalaman itu kemudian oleh Paris Villages diproyeksikan secara instan (kitsch) pada desain interior yang ditata agar mirip dengan suasana restoran di Prancis. Kitsch tidak lagi sebuah objek konsumsi, tapi sudah reintegrasi ke dalam aspek keruangan.

Karena kitsch dapat memberikan pengalaman yang tidak didapatkan dalam kehidupan sehari – hari hal ini membuat kita seolah – olah ingin selalu merasakan pengalaman tersebut sebagai upaya pelarian dari rutinitas sehari – hari yang menjemukan. Padahal kegiatan itu tentu memerlukan biaya dan waktu. Penulis berpendapat bahwa kecenderungan masyarakat kita yang kini lebih menyukai kitsch ini mungkin karena sejarah bangsa kita yang lama dijajah oleh bangsa lain sehingga kita masih menganggap bangsa lain lebih “superior” dibandingkan bangsa kita dan lebih mudah menyukai, menerima dan mempercayai apa yang dibawa oleh mereka. Rendahnya kesadaran masyarakat kita akan bentuk karya seni juga bisa jadi akibat sejarah kita yang terlalu lama dijajah. Penulis berpendapat bahwa objek kitsch hanya dapat dilihat saja, ia akan dilupakan ketika aktivitas utama dalam ruangan itu dimulai. Namun, kombinasi yang tepat dari objek kitsch yang dinikmati secara visual dapat membentuk suasana yang mendekati dengan aslinya meskipun pengalaman itu tidak otentik. Setidaknya kemunculan benda kitsch pada sebuah ruang dapat memberikan pengalaman baru bagi pengunjungnya dan dapat menjadi hiburan di sela rutinitas sehari – hari yang menjemukan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Armand, Avianti. (2011). Arsitektur yang Lain. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Featherstone, Mike (2007). Consumer Culture of Postmodernisme. London: SAGE Publications Ltd.

Greenberg, Clement. (1939). Avant-Garde and Kitsch. In Partisan Review (pp. 34-39). Boston: Boston University

Kulka, Tomas. (1996). Kitsch and Art. Princeton: Penn State University Press

Oliver, Bert. (2003). Kitsch and Contemporary Culture. In South African Journal of Art History No. 18 (pp. 104-112). Port Elizabeth: Bureau of Scientific Research