Pada bulan Februari 2018, Marvel Studios meluncurkan film ke-18 nya yang berjudul “Black Panther”. Film yang disutradarai oleh Ryan Coogler ini sukses di pasar Amerika Serikat dan Internasional. Hingga akhir bulan Maret 2018 total keuntungan yang didapatkan oleh film ini berjumlah US$1.237.316.236 sehingga menempatkannya ke dalah urutan ke 13 dari film dengan pendapatan terbesar sepanjang sejarah. Ada banyak hal yang membuat film ini sangat digemari oleh masyarakat, mulai dari jalan cerita, pemeran, hingga efek visual yang disajikan. Dari berbagai aspek menarik yang disajikan oleh film ini ada sebuah aspek yang membuat ini sangat digemari yaitu tema Afrofuturisme yang diusung oleh film ini.

Afrofuturisme adalah sebuah ide yang pertama kali dikemukakan oleh Mark Dery dalam sebuah essay yang dituliskannya pada tahun 1993 yang berjudul “Black to The Future”. Ide besar dari pemahaman ini adalah membayangkan sebuah situasi di masa depan dimana komunitas kulit hitam afrika berkembang dengan sangat pesat di bidang seni, pengetahuan, dan teknologi yang melebihi dunia barat.  Ide ini muncul dikarenakan kondisi masyarakat kulit hitam di Afrika yang sejak dulu dianggap sebagai manusia kelas 2 (munculnya perbudakan, perdagangan manusia, politik apartheid, dll) yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi dan ilmu pengetahuan di Afrika. Afrofuturisme mencoba membayangkan sebuah kondisi masyarakat yang sangat maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tapi memiliki akar kebudayaan Afrika.

Ryan Coogler mencoba menerjemahkan ide ini dalam film Black Panther. Di dalam film ini diceritakan bahwa terdapat sebuah kerajaan di Afrika yang bernama Wakanda, berkat sumberdaya yang sangat berlimpah negara ini berkembang pesat dan memiliki pengetahuan dan teknologi melebihi negara barat. Lewat kerajaan fiksional ini kita dapat melihat bahwa Ryan Coogler mencoba menampilkan paham Afrofuturisme dalam beberapa aspek, beberapa contoh aspek di film ini yang mengadopsi paham afrofuturisme adalah desain kostum, setting tempat, dan setting kebudayaan. Dari desain kostum, Ruth E. Carter sebagai desainer kostum mengkombinasikan antara pakaian khas dan identitas visual khas suku-suku yang ada di Afrika dengan sentuhan techno dan modern. Contohnya, dalam gambar di bawah, Ruth E. Carter membuat desain prajurit wanita yang terinspirasi dari Suku Ndebele dari Afrika Selatan

Gambar 1
Indzila, sebuah identitas Suku Ndebele di Afrika Selatan yang diadaptasi dalam film Black Panther

Dalam setting tempat digambarkan bahwa Wakanda adalah sebuah kerajaan yang memiliki teknologi yang sangat tinggi namun tetap memiliki ciri khas Afrika baik di arsitekturnya maupun teknologinya. Ryan Coogler tidak ingin ciri khas Afrika menghilang tergantikan dengan teknologi yang dimiliki oleh kerajaan fiksional ini.

Gambar 2.
Desain Kota Fiksional Wakanda yang terinspirasi dari rumah adat khas Afrika

Di dalam aspek kebudayaan dan kepercayaan, Ryan Coogler mengadaptasi kepercayaan suku-suku di Afrika terhadap leluhur dan dunia spiritual. Di dalam film Black Panther, Ryan Coogler memasukkan aspek leluhur dan kepercayaan terhadap arwah nenek moyang sebagai faktor penting dari film ini.

Pada akhirnya lewat film Black Panther ini, Ryan Coogler mampu mengajak kaum kulit hitam keturunan Afrika di seluruh penjuru dunia untuk kembali ingat dan bangga terhadap warisan kebudayaan leluhurnya. Lewat aspek visual dan naratif yang terdapat di dalam film, manusia dapat diajak untuk berpikir tentang identitas, kebudayaan, dan sosial yang dapat memicu pergerakan bukan hanya di sebuah negara bahkan di tingkat global.

 

 

Sumber:

https://www.huffingtonpost.com/entry/opinion-broadnax-afrofuturism-black-panther_us_5a85f1b9e4b004fc31903b95

Rambsy II, Howard (2012-04-14). “A Notebook on Afrofuturism”. Cultural Front.