Frederik Gasa, S.IP, M.Si.

In the information society, nobody thinks. We expect to banish paper, but we actually banish thought” (Michael Crichton)

Quote salah seorang penulis buku ternama dan produser film berkebangsaan Amerika Serikat ini merepresentasikan era masyarakat informasi yang akrab dengan dunia digital dan media sosial, yang perlahan namun pasti mulai meninggalkan budaya printed media. Masyarakat informasi (information society) menitikberatkan aktivitas ekonomi dan sosial pada proses produksi, distribusi dan konsumsi informasi (Straubhaar et al., 2012: 24). Masyarakat informasi menandakan perubahan budaya masyarakat, khususnya budaya dalam menggunakan media.  Perkembangan teknologi dan kemunculan new media berdampak pada perubahan gaya hidup (lifestyle) masyarakat. Masyarakat dengan mudah mengakses, mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi untuk tujuan apapun hanya dengan melalui gadget. Arus informasi tidak lagi kaku dan pasif yang hanya berasal dari organisasi media tertentu namun bisa berasal dari mana saja termasuk masyakarat itu sendiri. Konsekuensinya adalah media konvensional harus bisa bertransformasi ke dalam bentuk media digital, atau minimal kombinasi antara keduanya.

Trend masyarakat informasi yang serba digital tentu tidak selalu berdampak positif bagi masyarakat. Sebagai contoh, berdasarkan survey Sharing Vision tahun 2013, kejahatan yang terimplikasi media sosial dan media online – khususnya Twitter dan Facebook – di Indonesia berada pada level mengkhawatirkan. Bahkan, setiap 40 menit, Polisi menerima laporan atas kejahatan yang dilakukan melalui Facebook. Pada tahun 2012, terdapat 12.300 kasus yang terjadi akibat penyalahgunaan Facebook.[1] New media, dengan ciri interaktifnya juga berdampak buruk bagi kepribadian seseorang, khusunya kelompok remaja. YouTube dan game online mampu membuat seorang anak menjadi candu dan antipasti terhadap lingkungan sosial. Pada titik inilah digitalisasi mengalami “kemunduran” karena mengaburkan nilai-nilai humanis dan esensi dasar sebagai seorang manusia.

Digitalisasi di era masyarakat informasi tidak lantas menghilangkan komunikasi analog. Straubhaar et al. (2012: 5) mengemukakan:

“Analog communication uses continuously varying signals corresponding to the light or sounds originated by the source”

Secara sederhana, komunikasi analog merupakan pertukaran pesan dan makna antara komunikator dan komunikan secara langsung tanpa melalui channel,[2] sebagai contoh percakapan face-to-face. Percakapan face-to-face bisa dikatakan sebagai jenis komunikasi analog yang tidak akan tergerus zaman, dan tetap penting dalam dunia komunikasi.

Percakapan face-to-face dalam banyak kasus – khususnya yang berkaitan dengan komunikasi interpersonal – menjadi sesuatu yang penting. Teori komunikasi interpersonal (interpersonal communication theory) berfokus pada bagaimana isi dan kualitas pesan tersampaikan dan membangun hubungan yang akan datang (Dainton & Zelley, 2010: 51). Interaksi yang dibangun oleh dua orang atau lebih ini tidak hanya melalui komunikasi verbal, tetapi juga komunikasi nonverbal seperti ekspresi wajah.

Salah satu contoh konret adalah dalam sebuah hubungan asmara. Dalam banyak hubungan, komunikasi menjadi akar persoalan. Lupa membalas Line; menyukai foto orang lain dalam Instagram; berbalas twit di Twitter; atau persoalan salah room pada saat membalas Whatsapp merupakan beberapa akar persoalan dalam hubungan asmara. Komunikasi menjadi buruk dan pertengkaran semakin lama semakin parah. Solusi yang tepat dan sering dipakai adalah komunikasi tatap muka (face-to-face). Dengan bertemu langsung, komunikasi yang dibangun menjadi lebih intens karena melibatkan berbagai elemen, termasuk ekspresi tubuh atau mimik muka. Pada akhirnya, pasangan bisa lebih menerima dan sekaligus mengoreksi diri serta memaafkan. Momen ini menjadi momen penting meskipun di era serba digital seperti saat ini.

[1] “Setiap Menit Terjadi 12.300 Laporan Kasus”, dalam https://sharingvision.com/2014/05/setiap-40-menit-terjadi-12-300-laporan-kasus/, diakses tanggal 2 Agustus 2017.

[2]A channel is an electronic or mechanical system that links the source to the receiver” (Straubhaar et al., 2012: 6).