(Frederik Gasa, S.IP., M.Si.)

 

Persoalan komunikasi tidak perah terlepas dari persoalan bahasa (language). Teringat pada sosok Ferdinand de Saussure, Bapak Struktualisme, yang memelopori munculnya metodologi dalam kajian linguistic (Mangion, 2011) yang juga bermuara pada bagaimana penggunaan bahasa dalam dunia komunikasi. Menjadi dilematis ketika bahasa yang seharusnya digunakan untuk mengkonstruk objek tertentu (semiology) justru tidak mampu membahasakan ide untuk disampaikan kepada orang lain. Pada titiik inilah, menurut Gary Radford (2014) kita mengalami keterbatasan kata untuk menjelaskan gagasan yang sebenarnya cukup sederhana (tidak mengundang banyak masalah). Dalam posisi ini, filsuf Lutwig Wittgenstein menyebutnya dengan “Discourse Nonsense” atau “Wacana Kosong”. Wacana ini menjelaskan seakan kita tahu bahwa proses ide tadi adalah nyata dan terasa, namun faktanya kita terjebak pada permainan bahasa (Radford, 2014).

Dalam kehidupan sehari-hari, kita serig terjebak dalam permainan bahasa (language game). Konflik seringkali terjadi karena antara komunikator (sender) dan komunikan (receiver) tidak mencapai konsensus tentang ide yang coba dipertukarkan. Pemilihan kata menjadi proses dan momen yang serius juga sulit. Kadang kita menjadi “gemes” karena seringkali ketika kita ingin membahasakan ide yang tergambar jelas dalam akal belum ada kata atau kalimat yang cocok, dan sekalipun ada tidak jarang pula maksudnya menjadi berbeda. Semakin rumit lagi jika masuk pada ranah high context dan low context karena yang juga akan diperhatikan adalah bagaimana budaya (culture) menjadi latar kedua belah pihak.

Komunikasi interpersonal yang melibatkan paling sedikit dua orang berkutat seputar permainan bahasa ini. Salah satu contoh yang dekat dan sering kita alami adalah manakala hendak menentukan tempat makan. Pasangan kita akan menjawab, “Terserah!” atau “Oke!” saat kita bertanya “Kita mau makan dimana?” atau “Mau makan apa?”. Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali memunculkan jawaban-jawaban yang absurd dan bahkan tidak masuk akal. Bahasa mengaburkan makna. Pada akhirnya tidak terjadi pertukaran informasi dan makna.

Kesadaran akan pentingnya pemahaman atau kajian dalam bidang linguistik menjembatani misunderstanding yang sering terjadi dalam persoalan komunikasi. Komunikasi dan bahasa menjadi dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Saussure meletakkan fundasi yang kuat dan sangat membantu kita dalam memahami kajian linguistik, khususnya penggunaan bahasa dalam komunikasi.