Oleh: Yudhistya Ayu Kusumawati, S.Sn, M.Ds

 

Masyarakat Indonesia khususnya masih berbendapat bahwa pengertian desain (merancang) hingga kini adalah membuat sesuatu (barang) baru yang mengandung fungsi dan estetika. Fenomena ini memicu pendidikan tinggi desain yang selama ini memiliki pola pikir bagaimana menciptakan barang dengan “kebaruan” pada aspek fungsi (guna dan simbolik/estetik) dan aspek teknis (pembuatan dan pemilihan material). Mengacu pada paradigma tersebut, maka contoh problematik desain yang dapat dijumpai selama ini seperti yang sudah dikemukakan Donald Norman adalah, bagaimana menciptakan desain yang berbasis interaksi si pengguna dengan objek desain, pelayanan dan pengalaman terhadap objek desain.

Desainer memang dituntut untuk menghasilkan suatu inovasi (kebaruan) sesuai dengan perkembangan zaman dalam setiap karya desain yang diciptakannya. Namun hal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah kebaruan-kebaruan tersebut di atas cukup menjadikan sebuah objek desain diminati oleh calon konsumennya? Jawaban sepintas memang iya. Tetapi, mengingat semakin ketatnya kompetisi tidak menutup kemungkinan pesaing-pesaing akan berbuat hal yang sama sehingga konsumen mempunyai lebih banyak pilihan dalam menentukan produk yang akan dibelinya.

Merenungkan hal tersebut di atas, maka terlintas suatu keharusan bahwa desain yang baik bermuara pada kesuksesan pasar atau komersial. Secara sederhana berarti barang tersebut diminati dan dibeli konsumen serta mampu berkompetisi dengan produk lain. Terbayang betapa sulitnya melahirkan karya desain baru, karena selama ini dalam mindset desainer dan pendidikan yang diperoleh di perguruan tinggi hanya berorientasi pada produk (product oriented). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa paradigma lama tersebut hanya akan mencetak desainer-desainer dalam kategori “tukang”.

Problematik klasik, seperti peningkatan kenyamanan penggunaan suatu objek desain (produk desain) adalah sebuah keharusan dalam desain, jadi bukan merupakan problem yang dapat menjadi isu inovatif apalagi dapat dipakai sebagai alat bersaing. Demikian pula menghadirkan fungsi baru dari hasil penambahan/penggabungan fungsi teknis. Sebelum mengeksekusi sebuah fungsi baru/penambahan fungsi, harus dilakukan riset terlebih dahulu untuk menjawab pertanyaan perlukah hal itu dilakukan? Karena penambahan fungsi juga berarti penambahan biaya produksi.

Oleh karena itu seperti yang dikemukakan Donald Norman, kemampuan desainer sebagai periset sangat diperlukan sehingga desainer dapat melakukan pengetesan idenya sebarapa valid dan legitimate (diterima secara universal sebelum memanfaatkannya). Selain itu, dengan melakukan kegiatan riset yang benar, desainer dapat menghasilkan sebuah konsep baru yang inovatif, bernilai jual dan kompetitif. Donald Norman mengatakan bahwa desainer saat ini miskin didikan. Seorang desainer harus terdidik dan terlatih dengan diberi bekal pendidikan sains, metodologi ilmiah dan desain eksperimental.

Tugas desainer tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Setelah produk desain terwujud, desainer masih mempunyai PR, yaitu bagaimana mensosialisasikannya ke masyarakat tentang produk desainnya dan bagaimana mempertahankan diri dari serangan pesaing. Kemampuan-kemampuan inilah yang tidak dimiliki oleh seorang “tukang desainer”.

Dalam proses munculnya produk baru terdapat tiga tahapan proses, yaitu sebagai berikut

  1. pra produksi berkaitan dengan analisa kebutuhan pasar melalui riset,
  2. saat produksi berkaitan dengan proses perancangan desain sebuah produk berdasarkan kaidah-kaidah desain, dan
  3. pasca produksi berkaitan dengan perencanaan strategi promosi dan penjualan benda dibuat dan didistribusi ke masyarakat.

Dari ketiga tahapan tersebut, kebanyakan desainer di Indonesia berada diposisi kedua. Donald Norman menyatakan bahwa desainer hanya diterjemahkan sebagai bagian dari proses produksi. Mengacu pada kompetensi desain di atas, maka definisi desain tidak hanya dalam tahapan objek fisik: keterampilan menggambar, pengetahuan tentang material dan proses produksi tetapi ditambah dengan pengetahuan tentang sains sosial dan interaksi dengan pengguna sehingga terciptanya peningkatan kualitas hidup melalui keseluruhan berbagai unsur.

Oleh karena itu bidang kajian desain, secara sederhana, berkisar pada produk (barang dan jasa) yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dalam arti dilihat dan dipakai. Definisi sederhana ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
Produk yang dapat dimiliki (dibeli) oleh setiap orang, kategori ini disebut saja produk individual. Produk yang setiap orang hanya dapat membeli jasanya (menyewa), kategori ini disebut fasilitas publik.

Keberadaan produk di tengah-tengah orang banyak (masyarakat) adalah pemicu terjadinya persaingan dalam hal kualitas, kinerja, material, teknologi, harga, merek dan bentuk. Atribut-atribut tersebut yang membedakan sebuah barang satu dengan barang yang lainnya. Dengan memahami atribut, desain akan memegang peran penting dan menjadi “tanda” keunggulan produk. Jadi dapat disimpulkan bahwa lahan garap desain sangat luas, beragam dan tiada habis.

Desain yang akan sukses adalah yang berangkat dari masalah (problematik). Teori 4C yaitu Company, Competitor, Consumer and Change (dikutip dari Kotler & Kertajaya) dapat dijadikan acuan dalam mencari masalah yang mengandung nilai inovasi, kreativitas dan networking. Pertimbangan di atas diharapkan dapat menjadi batasan bagi penggarapan aspek desain yang lebih detail, seperti studi fungsi guna, estetika dan teknologi.

Apalagi saat ini kita sudah melewati era globalisasi. Globalisasi dalam arti lintas kompetensi bermakna: desain bukan milik masyarakat desain saja, tetapi milik semua orang yaitu bidang ilmu lain. Persaingan di masa mendatang lebih berfokus pada siapa yang paling bisa menggarap (kompeten) dan bukan lagi siapa (bidang ilmu apa) yang paling bisa menggarap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa desain yang sukses adalah desain yang berhasil di pasar, artinya paradigma desain harus berubah dari “product oriented” menuju pada “market oriented” atau dapat pula disebut “consumer oriented”. Syarat agar market oriented dipenuhi adalah seorang desainer tidak hanya mempunyai kemampuan praktik tetapi harus memiliki pengetahuan sains dan teknologi. Dengan kemampuan ini maka paradigma “tukang desainer” akan berubah menjadi “manajer desainer”, Melihat hal tersebut, seperti yang dikatakan Donald Norman sudah saatnya pendidikan desain berbenah, artinya jangan hanya memberi bekal pada kemampuan membuat saja tetapi juga pada kompetensi-kompetensi yang lain. Paradigma seperti ini harus segera ditinggal dan hanya pendidikan, masyarakat desain, industri dan pemerintah yang mampu mengubah paradigma tersebut.

Pemikiran-pemikiran yang telah dikemukakan oleh Donald Norman dalam artikelnya merupakan kondisi yang ideal bagi pendidikan desain pada umumnya. Akan tetapi jika hal tersebut diterapkan di negara-negara maju seperti halnya Amerika mungkin sah-sah saja mengingat sumber daya manusia di negara maju yang memadai. Akan tetapi apakah pemikiran tersebut berhasil  jika diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia?