Kamu pasti tahu tentang kursi roda yang digunakan oleh Profesor X pada film X-Men. Ia menggerakkan kursi roda tersebut dengan pikirannya. Mungkin kamu mengira kursi roda seperti itu agak mustahil diciptakan di dunia nyata. Namun ternyata dua orang mahasiswa dan dosen pembimbingnya berhasil menciptakan prototipe kursi roda yang mampu digerakkan hanya dengan pikiran saja.

Jennifer Santoso dan Ivan Halim Parmonangan adalah mahasiswa semester tujuh Teknik Informatika di Binus University. Mereka mengembangkan kursi roda elektronik berbasis electroencephalograph (EEG), yaitu sinyal yang dipancarkan oleh otak manusia pada rentang sekitar 50 microvolt atau kurang.

Jennifer dan Ivan mengembangkan alat beserta aplikasinya, yang mereka namakan Bina Nusantara Wheelchair (BNW) – Kursi Roda dengan Kendali Otak, sejak Februari 2015 lalu. Proyek ini merupakan subjek skripsi mereka yang dibimbing oleh dosen senior Binus University, Widodo Budiharto.

Ada cerita lucu sih di belakang nama BNW ini. Sebenarnya kami mengambil nama yang paling mudah saja karena sudah kehabisan ide buat didaftarkan pada perlombaan Gemastik 8, tahun 2015 lalu. Kebetulan pas dan agak saru dengan BMW.

Sebelumnya, BNW merupakan proyek skripsi senior kampus mereka. Proyek tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Jennifer dan Ivan. Mereka berhasil mengusulkan metode klasifikasi yang cepat hanya menggunakan dua channel—dari empat belas channel yang tersedia—pada perangkat penangkap sinyal EEG, neuroheadset. Metode mereka memiliki akurasi yang lebih baik dari versi sebelumnya, yakni hingga 85 persen.

Teknologi EEG

Neuroheadset Emotiv Bina Nusantara Wheelchair

Alat yang digunakan untuk menangkap sinyal EEG ternyata sudah banyak tersedia secara komersil

EEG sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru dalam dunia teknologi. Dosen pembimbing mereka, Widodo, mengatakan bahwa riset ini sudah dilakukan sejak puluhan tahun silam. Pada tahun 1929, seorang ilmuwan pertama kali menampilkan sinyal EEG seorang anak laki-laki. Besaran sinyal EEG itu tergantung dari apa yang kita pikirkan.

Kursi roda ini nantinya akan mampu membantu mereka yang mengalami kelumpuhan dari leher ke bawah untuk tetap beraktivitas dan berinteraksi dengan orang lain.

“Kami mengembangkan kursi roda ini dengan dua mode. Satu dengan EEG bagi yang tidak bisa menggerakkan leher mereka, dan satunya lagi menggunakan alternatif gyro. Alternatif kedua ini untuk penggunanya yang masih bisa menggerakkan leher mereka untuk membelokkan kursi roda,” ungkap Jennifer.

Sebelum bisa menggunakan kursi roda ini, pengguna harus terlebih dahulu melakukan initial training untuk mengidentifikasi sinyal EEG yang mereka pancarkan menggunakan neuroheadset. Selama proses latihan, pengguna harus memikirkan sebuah keadaan maju, mundur, belok kiri, dan belok kanan guna memerintahkan kursi roda.

Proses Training Bina Nusantara Wheelchair

Proses latihan sedang berlangsung

Sinyal EEG yang ditangkap neuroheadset akan menggerakkan kursi roda, sesuai dengan keadaan yang dipikirkan pengguna. Proses latihan ini berlangsung dari satu menit hingga berjam-jam lamanya, tergantung dari kondisi pikiran pengguna.

Neuroheadset dihubungkan ke aplikasi berbasis kecerdasan buatan hasil pengembangan Jennifer dan Ivan untuk diolah, disaring untuk mengambil gelombang alfa dan beta, kemudian ditransformasi dengan algoritma transformasi Fourier cepat untuk menjadi inputbagi mesin.

Hasil dari pengolahan ini kemudian diteruskan ke papan microcontroller Arduino Uno. Dari Arduino, data akan dikirimkan ke motor yang bekerja menggunakan aki untuk menggerakkan kursi roda tersebut.

Mengembangkan BNW bukanlah tanpa hambatan. Widodo mengaku membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat menemukan sinyal otak yang optimal, kemudian mengubahnya ke dalam bahasa pemrograman yang mampu dibaca oleh komputer.

Penghargaan, paten, dan produksi komersial

Pemasangan Bina Nusantara Wheelchair

Terlihat Ivan sedang serius memasang kelengkapan BNW

Karya ini telah meraih peringkat kedua dalam lomba Pagelaran Mahasiswa Nasional bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (Gemastik) 2015, kategori sistem cerdas di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada Oktober silam. Bulan Mei 2016 mendatang, mereka akan mempresentasikan BNW pada International Conference on Robotics and Vision (ICRV) 2016 di Tokyo, Jepang.

Teknologi seperti ini tentu saja merupakan terobosan besar dalam teknologi medis. Ketika saya bertanya apakah sudah ada investor atau perusahaan yang tertarik untuk mendukung atau membeli BNW, Widodo menjawab bahwa ketertarikan itu sudah datang. Namun, ia belum dapat memastikan siapa saja dan berapa besar dana yang ditawarkan untuk kursi roda masa depan tersebut.

Widodo juga sedang mengajukan hak paten atas kursi roda yang mereka kembangkan. Prosesnya sendiri memakan waktu tiga tahun. Nantinya BNW juga akan ditangani oleh Binus Creates, entitas penghubung fakultas dengan pihak luar, untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi produk komersial.

Saat ini BNW masih berupa prototipe. Namun, saya sendiri ingin melihat BNW menjadi sebuah alat yang lebih ringkas di masa depan, menggunakan hanya satu papan microcontroller saja untuk mengatur motor dan input dari neuroheadset. Sehingga, harga produksi alat yang bermanfaat untuk kemanusiaan ini pun akan menjadi lebih murah.

Pernyataan dari Widodo mungkin saja akan terwujud dalam waktu yang tidak lama. Pasalnya, Jennifer dan Ivan memang berencana untuk terus mengembangkan BNW, meskipun skripsi mereka telah usai.

Baca juga: Binus Startup Accelerator Rangsang Siswa Menjadi Entrepreneur

Mengenal tim di belakang BNW

Ivan Jennifer dan Widodo

Dari kiri ke kanan: Ivan, Jennifer dan dosen pembimbing mereka, Widodo

Perjumpaan Jennifer dengan Ivan memang cukup tidak terduga. Mereka adalah dua orang dengan sifat yang begitu berbeda.

“Yang satu lomba terus, yang satu rada-rada anti sosial, suka ‘jaga’ kamar sambil nontonanime. Tetapi kita punya satu ketertarikan, yaitu dunia artificial intelligence”, aku Ivan yang ternyata dulu sempat diterima di Universitas Indonesia, namun akhirnya ia memilih Binus University karena beasiswa.

Mereka pertama kali bertemu dan mulai akrab ketika Jennifer dan Ivan berada dalam satu ruang kelas yang sama dalam peminatan artificial intelligence. Ivan mengatakan kepada saya bahwa impresi pertama yang ia lihat dari Jennifer adalah orang yang kaku dan begitu pemalu. Akan tetapi, setelah Ivan mengajaknya berbicara, mereka menjadi dua orang teman dengan topik berbicara yang nyambung satu sama lain.

Menginjak semester enam, mereka bertemu dengan Widodo, guna mencari topik untuk kerja praktik dan skripsi mereka. Beliau mengusulkan pengembangan kursi roda dengan teknologi EEG ini kepada Jennifer dan Ivan.

“Meskipun topiknya agak terdengar gila, akhirnya kami ambil juga karena merasa tertantang. Belum lagi manfaatnya begitu besar bagi kemanusiaan,” tutup Ivan.

(Diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)

Sumber:
https://id.techinasia.com/mahasiswa-binus-mengembangkan-kursi-roda-yang-bergerak-dengan-pikiran