Bagi desainer interior, Muchid Murtahdo, proses rendering data-data pendukung desain ruang di suatu sudut rumah menjadi proses paling membosankan.

Sekadar informasi, rendering adalah proses mengubah data-data berupa modeling, teksturing, pencahayaan dengan parameter tertentu, menjadi tampilan animasi. Tak lepak, dia harus sabar menunggu proses rendering yang dihasilkan Central Processing Unit (CPU) komputernya hingga berjamjam.

“Semakin banyak data yang harus diolah CPU, semakin lama saya harus menunggu,” ujar pria yang membuka perusahaan rintisan jasa desain interior di bilangan Kemanggisan, Jakarta Barat, belum lama ini.

Selain Muchid, rendering juga menjadi masalah umum bagi mereka yang berjibaku di bidang spesial efek tayangan televisi, animasi film, desain visualisasi, dan bidang lainnya. Sejauh ini, solusi untuk mempercepat proses rendering di antaranya menggunakan supercomputer (mainframe) yang memiliki sumber daya (resource) sangat besar. Namun, harga supercomputer relatif mahal jika hanya dipergunakan untuk rendering bagi sebuah perusahaan rintisan atau usaha kecil menengah.

Sebagai contoh, supercomputer Cray XC-30 yang dianggap versi bujet saja dibandrol 500.000 dollar AS untuk harga awal. Versi bujet tersebut barangkali masih bisa terjangkau apabila beberapa perusahaan rintisan patungan untuk membelinya. Selanjutnya, mereka membangun infrastruktur komputer pararel, yaitu jaringan jaringan komputer yang dikendalikan oleh sebuah perangkat lunak (mobile agent) yang mampu mengatur penggunaan supercomputer yang “disulap” menjadi mesin rendering.

“Dalam komputasi secara pararel, sebuah mobile agent dapat mengatur antrean mereka yang akan menggunakan mesin rendering,” jelas Ketua Jurusan Teknik Informatika Universitas Gunadarma, Adang Suhendra, di Jakarta, Jumat (11/04).

Sebagai ilustrasi, dari beberapa perusahaan rintisan yang memiliki komputer, apabila salah satu perusahaan ingin mengolah data di sebuah mesin rendering, antreannya akan diatur mobile agent. Namun, antren menggunakan sebuah mesin rendering itu yang masih berpotensi menjadi pemicu masalah antar-perusahaan rintisan yang ingin mengolah data duluan.

Dengan kata lain, walaupun sudah tersedia supercomputer dengan kapasitasnya yang besar, ternyata belum menjadi solusi jitu mempersingkat waktu dalam melakukan proses komputasi atau rendering data skala besar kapan pun. Selain itu, proses komputasi tidak selamanya butuh CPU berkinerja tinggi. “Supercomputer dengan sumber daya besar yang sifatnya eksklusif, sangat disayangkan kalau digunakan untuk komputasi rendah,” jelas manajer operasional teknologi informasi, Universitas Bina Nusantara (Binus), Johan M Kerta, di Jakarta, Jumat lalu.

Menurut Johan, pemanfaatan komputer untuk komputasi sesuai dengan kebutuhan pengguna, berkinerja tinggi atau rendah, memungkinkan melalui lingkungan virtual dengan peranti lunak (software) tertentu.

Di lingkungan virtual, pemrosesan data berkala besar memungkinkan menggunakan sumber daya TI (teknologi informasi) besar pula, demikian sebaliknya. Komputasi Grid Di lingkungan virtual, lanjut Adang, juga memungkinan untuk menggabungkan sejumlah sumber daya yang terpisah sehingga tercipta suatu lingkungan komputasi yang besar.

“Grid computing,” sebut Adang. Komputasi grid juga bisa berarti sebagai aplikasi sumber dari beberapa perangkat komputer yang dimanfaatkan dalam jaringan TCP/ IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol) untuk memecahkan masalah komputasi berkinerja tinggi (rendering, misalnya) pada waktu yang bersamaan.

“Melalui komputasi grid, mereka yang tergabung dalam sebuah jaringan dapat berbagi sumber daya. Mereka yang memanfaatkan komputasi grid ini tentunya telah teridentifikasi dan autentifikasi pemilik sumber daya,” jelas Adang. Biasanya, dalam komputasi grid berbagi sumber daya berupa tenaga prosesor beberapa komputer yang terhubung dalam jaringan.

Tidak hanya komputer berdiri sendiri (stand alone), sekarang ini perangkat bergerak (mobile) seperti laptop, telepon pintar (smartphone), dan tablet memungkinkan untuk membangun sebuah komputasi grid. Perangkat bergerak tersebut memiliki sumber daya prosesor mumpuni untuk proses komputasi berkinerja tinggi. Bahkan, sudah beredar di pasaran beberapa ponsel dengan sumber daya 8 core (octa core).

Perangkat bergerak berkinerja tinggi ini sangat disayangkan “nganggur”. Padahal, lewat komputasi grid, sumber daya itu bisa dimanfaatkan secara bersama dalam sebuah jaringan bagi mereka yang membutuhkan.

Nah, untuk membentuk suatu kumpulan grid peralatan TI, seorang moderator memulai sebuah kelompok internet yang memelihara informasi dari setiap anggota grup dalam database- nya. Komputasi grid menggunakan middleware, sebuah perangkat lunak untuk mengoordinasi sumber daya teknologi informasi TI yang terpisah di dalam suatu jaringan.

“Fungsi grid menyediakan akses secara remote kepada peralatan TI dan mengumpulkan daya proses,” ujar Adang.

Komputasi grid tersebut, imbuh Johan, telah diimplementasikan di sejumlah negara yang telah memunyai jaringan internet stabil. Di Amerika, misalnya, seorang yang memiliki sebuah komputer dapat mendaftarkannya menjadi bagian komunitas komputasi grid.

Setelah komputernya terhubung dalam suatu jaringan maka bisa menyisihkan sumber daya seperti prosesor untuk dimanfaatkan anggota komunitas. Semangat berbagi ini memungkinkan untuk membangun sebuah lingkungan komputasi berkinerja seperti supercomputer. n agung wredho

Sumber :

  • http://www.koran-jakarta.com/?9875-berbagi%20prosesor%20berkinerja%20tinggi
  • Berbagi Prosesor Berkinerja Tinggi
  • http://www.koran-jakarta.com/?9876-rentan%20terserang%20%E2%80%9Cprogram%20jahat%E2%80%9D