Keberanian diperlukan untuk tampil dan angkat bicara,
keberanian juga diperlukan untuk duduk dan mendengarkan.
(Winston Churchill)
 

Kesadaran masyarakat produktif termasuk masyarakat BINUS University akan pentingnya faktor SDM menjadi wacana yang perlu terus dikembangkan dalam dasawarsa akhir-akhir ini. Dalam upaya mengembangkan wacana tersebut, jika keliru dalam menentukan pilihan strategisnya akan berakibat fatal terhadap rencana keorganisasian yang akan diimplemantasikan.

Orang mulai sadar bahwa masa depan adalah ketidakpastian, dan begitu juga orang menyadari bahwa kepastian itu adalah ketidakpastian itu sendiri. Oleh karena itu, organisasi bisnis berskala besar seperti halnya Microsoft sudah tidak lagi melihat, kemana arah perubahan akan berjalan, melainkan bagaimana mereka menciptakan “arah perubahan” itu sendiri yang dapat mendatangkan keuntungan bagi kesinambungan bisnisnya. Kemampuan dalam menciptakan arah perubahan atau trend ini tentunya dibutuhkan para aktor produktif berkaliber handal beserta teamwork-nya yang memiliki kemampuan diatas rata-rata dalam aspek potensi, fungsi dan kompetensi atau dengan rumus satu kata, kreativitas-nya.

Dewasa ini, para pakar behavioral-sciences, banyak membicarakan perihal otak kanan dan otak kiri, Emotional Quotient (EQ) sampai ke Emotional Spiritual Quotient (ESQ) melalui berbagai program seminar dan pelatihan untuk berusaha menggali ke kedalaman inti kekuatan manusia. Sebagai respon atas stimulus di atas, berbagai organisasi dan institusi mengirimkan para pimpinan dan stafnya dengan suatu harapan yang besar, kreativitas dapat dicetak di berbagai seminar dan pelatihan dengan tema-tema seperti itu. Padahal para pesaing yang berada di luar negeri, telah terlebih dahulu meneliti, merencanakan dan melaksanakan program serupa secara evaluatif dan akseleratif terhadap kemampuan-kemampuan yang ingin digali dari tema-tema tersebut, atau dengan kata lain pola pikir kita masih terjebak pada pola pikir mengikuti trend, dan belum pada menciptakan trend. Jadi, ketika orang lain sudah melangkah dua tiga tahap, kita baru masuk ke tahap persiapan, terus demikian puas dengan hanya menjadi “ekor naga” tidak sebagai “kepala”nya, padahal kata kreatif itu sendiri dalam implementasinya perlu dipicu oleh energi, keberanian, dan inisiatif, dimana kesemuanya ini dibutuhkan pengalaman bertarung dalam “medan tempur” yang sebenarnya, tidak melulu berkutat di berbagai forum wacana dan ruang simulasi.

Meminjam anekdot dari Mark Twain, “orang yang belajar menangkap kucing dengan menarik ekornya berarti belajar kira-kira 44% lebih cepat daripada yang hanya menonton”.  Dengan kata lain, ruang pembelajaran kita terjadi dalam ruang sepanjang hidup kita, tidak terikat atau tersekat-sekat dan meloncat dari satu event ke event  lain, meski hal seperti ini tidaklah buruk, namun dalam situasi keorganisasian saat ini terlalu banyak jebakan yang tidak selalu dapat kita tolerir, dan hanya membuang waktu saja. Sikap dan perilaku manusia tidak dapat dicetak dalam waktu yang singkat, kita mungkin merasa berhasil dengan menawarkan sejumlah aktivitas keorganisasian, baik formal maupun informal yang berhasil menarik perhatian publik. Namun yang terjadi justru bisa sebaliknya dimana hasil yang kita dapatkan bukanlah pioneer-pioneer kreatif, akan tetapi yang  didapat  adalah individu-individu “pseudo-kreatif” yang mungkin fasih dengan pekik “salam super-nya”, dimana ketika persoalan menerpa individu-individu tersebut, mereka kembali menjadi gagap dan panik-reaktif serta defensif terhadap serbuan berbagai kritikan dan persoalan yang datang silih-berganti.

Pada hakekatnya, keberanian untuk menata faktor SDM sendiri untuk mengatasi persoalan yang khas menjadi sangat penting, karena kita tidak ingin selalu menjadi pengekor, melainkan bagaimana kita bisa berdiri di depan menatap jurang dan ngarai, lembah dan hutan, serta gedung pencakar langit, untuk kemudian bergerak cepat menempuh dan mengarungi “tantangan ke depan” sebagai individu-individu yang tangguh, penuh impresi dan daya energi yang tak habis-habisnya mantap-kuat menatap ke depan.

Ada suatu cerita dari Bert Decker, seorang peneliti dan pakar konsultan komunikasi, perihal betapa kekuatan energi pada diri individu dapat menjadi magnet penggerak yang dahsyat dalam memotivasi orang lain. Ketika presiden Kennedy telah melampaui masa kampanye yang panjang dan melelahkan, dan harus kembali tampil di mimbar depan kantor gubernur California di Sacramento, nampak Ia sudah amat letih. Decker mengira Kennedy akan nanar dan tumbang, dan ia berkata dalam hati bahwa pidato Kennedy tak akan berhasil.  Diluar dugaan, keajaiban terjadi, Decker terpana, ”Kennedy menatap mata semua yang hadir, berdiri tegak dan bicara dengan intonasi dan semangat berapi-api. Inilah pidato yang paling memukau dan efektif selama yang saya lihat, penuh gairah, daya dan energi. Penggunaan energi pribadinya yang menyeluruh membuatnya mampu menjalin hubungan emosi dengan para pendengarnya. Ada energi pada suaranya, dalam wajah, mata, dan bahasa tubuhnya. Daya yang terpancar melalui suara dan penampilan tokoh ini yang tersampaikan pada jutaan orang yang melihatnya, baik yang secara langsung maupun lewat televisi menunjukkan bahwa ia orang yang yakin dengan yang diucapkannya”, demikian kesan Decker.

Dengan demikian, energi yang dikendalikan oleh hati dan semangat tulus inilah yang mulai menjadi perhatian dan kunci sukses di abad ke-21 ini, untuk kembali pada keutuhan SDM. Banyak pembicara di bidang kepemimpinan dan kreativitas yang pandai mengolah kata-kata, akan tetapi tidak mampu menggugah serangan rasa kantuk kita, dan bahkan pirsawan televisi di rumah memindahkan channel siaran televisinya.

Saat ini, masyarakat produktif mulai menyadari nilai individu serta kontribusi yang diberikan melalui kreativitasnya. Meskipun kreativitas dimulai dari individu, namun mengubah ide kreatif ke dalam inovasi atau implementasi kreatif ke dalam kegiatan keorganisasian perlu melibatkan lebih banyak individu. Dengan kata lain, kreativitas telah menjadi bagian dari cara kita beroperasi secara alami.

Bill Gates didalam organisasi bisnis Microsoft-nya, mengembangkan apa yang disebut softmanagement, yakni dengan memberikan ruang yang luas terhadap berbagai gagasan kreatif, dengan mendorong atmosfer kerja yang bebas dan santai, menciptakan struktur datar dan hirarki yang tidak banyak, membangun organisasi bisnisnya menjadi kelompok-kelompok kecil, kemudian diberi tugas yang terdefinisi dengan jelas dan mereka bertanggung jawab secara penuh terhadap tugas tersebut. Mendorong diskusi dan perdebatan, termasuk dengan menggunakan e-mail serta mengakui dan menghargai kesuksesan kelompok ataupun individu. Selain itu melalui pendekatan hard-managementnya, Bill Gates telah menerapkan implementasi kontrol yang tepat dari atas, dimana semua kelompok ataupun individu harus mengetahui siapa yang berwenang dan bertanggung jawab dalam masing-masing tugas organisasi bisnisnya, menyangkut pertanyaan-pertanyaan: siapa yang berkuasa, siapa yang akan mengambil keputusan, siapa yang akan membangun brand dan siapa yang akan merumuskan strategi, dan seterusnya adalah mendelegasikan kepemimpinan dan pemberian otonomi. Kesemuanya ini dikenal dengan menerapkan prinsip 5 E, yakni Empower, Egalitarian, Emphasis, Email dan Enrich; atau dengan kata lain memberikan kewenangan kepada individu yang lebih kompeten, mengadopsi  sikap-interaksi egalitarian, memberikan penekanan yang tegas dalam hal kinerja, mengirim dan menerima pesan-pesan dari dan untuk orang lain secara konstruktif, memberikan imbalan dan pengakuan atas keberhasilan individu atau kelompok.

Terciptanya iklim sirkulasi pusaran energi yang sehat dan tak terbatas dalam keorganisasian dapat menghasilkan individu-individu dengan personal excellence, yang mampu menggunakan ide-ide baru dan segar dari semua sumber yang dimiliki, mampu menganilisis sebab-sebab terjadinya kemunduran, dan segera mampu mengubah rencana sehingga aktivitas keorganisasian berjalan dengan baik dan lancar, percaya dengan keunggulan diri sendiri dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus.

Secara fenomenal, saat ini keorganisasian merupakan struktur yang lepas dari unit-unit yang saling bergantungan, maka aspek kepemimpinan menjadi hal yang vital. Di satu pihak, setiap unit harus memiliki tipe kepemimpinan yang dapat memaksimalkan kinerja individual, dan di lain pihak setiap unit harus tetap bergabung dengan unit-unit yang lainnya, maka disinilah dibutuhkan kepemimpinan yang kreatif (creative leadership), yaitu individu yang memiliki komitmen terhadap pemikiran kreatif, percaya dan menggunakan teknik berfikir kreatif milik sendiri, mendorong proses kepemimpinan kreatif dengan menyalakan semangat, menggabungkan, memberi kepercayaan dan kewenangan, menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan bebas, juga mengakui pentingnya faktor kegagalan.

Dari kesemua refleksi tersebut di atas, khususnya bagi Rekan Binusian, tempat dimana kita mengabdi dan berkreasi bersama, perlu diciptakan suatu lingkungan dimana setiap individu mempunyai kesempatan untuk mencapai dan melampaui potensinya. Setidaknya hal ini perlu dijadikan tujuan atau sasaran kita bersama, dan inovasi adalah salah satu cara untuk mengimplementasikannya. Suatu tempat dimana kreativitas individu diubah menjadi inovasi keorganisasian. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang intelektual ternama di bidang pengembangan PC, Alan Kay, bahwa cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya, dan dalam menciptakan hal itu dibutuhkan energi, imajinasi, kreativitas dan determinasi.